Cak Imin Bahas Pajak Karbon di Debat Cawapres, Apa Itu?

Ferrika Lukmana Sari
23 Januari 2024, 04:58
Cak Imin
ANTARA FOTO//M Risyal Hidayat/tom.
Capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan (kiri) dan Muhaimin Iskandar (kanan) berbincang dengan Hanif Dhakiri (tengah) saat jeda Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). Debat Keempat Pilpres 2024 mengangkat tema terkait pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Calon wakil presiden Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berjanji akan mempercepat implementasi pajak karbon di Indonesia. Hal itu disampaikan saat memaparkan visi misi di Debat Cawapres pada Minggu (21/1) malam. 

Mulanya, ia menyinggung pemerintah yang belum serius dalam mendorong transisi energi. Hal itu tercermin dari target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang diturunkan dari 23% menjadi 17% pada 2025.

Hal ini juga untuk menanggapi pernyataan Cawapres Gibran Rakabumi Raka terkait strateginya dalam mendorong stransisi energi hijau. Salah satunya dengan mengedepankan teknologi carbon storage and capture. 

Cak Imin mengatakan, yang paling penting dipersiapkan adalah energi baru dan terbarukan. Dia juga menyoroti implementasi pajak karbon yang ditunda dari tahun 2022 menjadi 2025. Padahal seharusnya pajak karbon bisa segera diimplementasikan.

"Memang pajak karbon ini bukan satu-satunya, yang penting dipersiapkan adalah transisi energi baru dan terbarukan. Sayangnya, komitmen pemerintah saat ini tidak serius," kata dia.

Lalu, Apa Itu Pajak Karbon?

Pajak karbon atau carbon tax adalah pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon, seperti produk olahan minyak bumi, gas bumi dan batu bara.

Penerapan pajak karbon ini seharusnya dilaksanakan pada 1 Juli 2022 kemudian ditunda menjadi 2025. Dengan alasan ketidakapastian ekonomi, kesiapan pelaku industri hingga memastikan implementasi berjalan baik. Sementara bursa karbon sudah lebih dulu diluncurkan pada 26 September 2023.

Walau diundur tujuannya tetap tetap sama. Pemerintah ingin mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca. Sehingga dapat mengurangi pemanasan global dan mengendalikan perubahan iklim, serta meningkatkan pendapatan pajak pemerintah dan meningkatkan efisiensi energi bagi konsumen serta bisnis.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, kehadiran pajak karbon diperkuat melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

"Pengenaan pajak karbon di Indonesia akan dilakukan bertahap dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi Indonesia," kata Febrio pada April 2022 lalu.

Hal ini bertujuan agar pengenaan pajak karbon di Indonesia dapat memenuhi asas keadilan (just) dan terjangkau (affordable) serta tetap mengutamakan kepentingan masyarakat.

Kemenkeu Siapkan Aturan Turunan

Selain UU HPP sebagai landasan utama, Kementerian Keuangan masih menyusun aturan turunan dari UU HPP yang mengatur terkait pajak karbon mulai dari pengenaan tarif dan dasar, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.

Aturan yang disusun di antaranya RPMK tentang tarif dan DPP Pajak Karbon, PMK Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pengenaan Pajak Karbon, PP Tentang Peta Jalan Pajak Karbon dan PP Tentang Subyek dan Alokasi Pajak Karbon.

Sementara aturan teknis lainnya, seperti Batas Atas Emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021 seperti terkait tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Kemudian Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dan Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK). 

Menggunakan Skema Cap and Tax

Untuk tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara sejak 1 April tahun 2022. Pajak karbon ini menggunakan mekanisme pajak yang berdasarkan pada batas emisi (cap and tax).

Penetapan pajak ini menggunakan sistem pajak atau berdasarkan batasan emisi. Indonesia dapat menggunakan dua mekanisme, yaitu menetapkan batas emisi yang diizinkan untuk setiap sektor atau menentukan pajak yang harus dibayar untuk setiap unit tertentu.

Mereka akan dikenakan tarif Rp 30 ribu per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan. Hal ini sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batubara.

Sementara pada 2025, merupakan tahap implementasi perdagangan karbon secara penuh melalui bursa karbon. Kemudian perluasan sektor cap and trade serta cap and tax secara bertahap sesuai kesiapan di masing-masing sektor.

Dalam mekanisme pengenaan pajak karbon di Indonesia, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai pengurangan atas kewajiban pajak karbon mereka. 

Nantinya, perdagangan karbon menjadi mekanisme jual beli karbon dan sertifikat emisi seperti surat berharga yang dapat diperjualbelikan di bursa karbon. Sertifikat pengurangan emisi ini akan diperdagangkan di bursa karbon yang ditawarkan tidak hanya ke pasar Indonesia tapi juga luar negeri.

Melalui strategi ini, pajak karbon menjadi rem untuk penggunaan energi kotor atau tidak terbarukan. Rencananya, dana dari hasil pajak karbon untuk mendorong pengembangan dan penggunaan energi bersih atau terbarukan.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...