LPS Ungkap Tantangan BPR Melantai di Bursa Efek
Anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Didik Madiyono mendukung bank perkreditan rakyat (BPR) menggelar penawaran umum saham perdana (IPO) sehingga pengelolaan bank semakin transparan.
"Kami mendukung sekali, karena makin banyak BPR masuk bursa, makin banyak pengawasan. Investor mengawasi, ada kewajiban-kewajiban keterbukaan informasi sehingga BPR akan dikelola semakin bertanggung jawab, akuntabel, dan transparan," kata Didik dikutip dari Antara, Kamis (29/2).
LPS menyambut baik BPR yang ingin melakukan IPO. Apalagi, BPR yang ingin masuk bursa, tentu harus memenuhi persyaratan ketat yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Tentu saja akan terseleksi, tidak semua BPR bisa masuk bursa. Sama seperti tidak semua perusahaan bisa masuk bursa. BPR yang masuk bursa tentu saja akan diseleksi (berdasarkan kriteria) yang bagus, yang dikelola dengan baik, yang sehat," kata dia.
Tantangan BPR untuk Melantai di Bursa
Didik pun mengingatkan sejumlah tantangan yang harus dihadapi BPR jika ingin melantai di bursa efek. Di antaranya terkait perbaikan kinerja keuangan, perbaikan manajemen risiko, hingga perbaikan tata kelola manajemen.
Dengan adanya amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pengaturan Sektor Keuangan (UU P2SK), kegiatan bisnis BPR menjadi tidak terlalu banyak berbeda dengan bank umum.
UU P2SK memperkenankan BPR untuk melakukan penawaran umum di bursa. Hal ini bertujuan untuk mendukung penguatan permodalan BPR agar lebih berdaya saing. Namun, BPR yang ingin melakukan penawan umum harus memenuhi syarat dan kriteria tertentu.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa BPR harus benar-benar disiapkan untuk memegang mandat baru sesuai UU P2SK dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, upaya penguatan BPR juga harus dilakukan di dalam semua aspek.
OJK juga terus melakukan upaya penguatan dan konsolidasi BPR melalui berbagai strategi. Hal ini seiring dengan meningkatnya risiko BPR karena perkembangan inovasi produk dan adanya praktik yang tidak sesuai atau fraud, sehingga OJK memperkuat penerapan tata kelola BPR.