Tanpa Debt Collector, Amartha Gunakan Sistem Kelompok untuk Tangani Gagal Bayar
Fintech P2P Lending Amartha menyebut pihaknya menggunakan metode berbeda untuk menagih pinjaman dari peminjam atau borrower yang tak kunjung mengembalikan dana. Bila kebanyakan lending menagih utang lewat penagih utang alias debt collector, Amartha menggunakan sistem kelompok.
“Kalau Amartha, pendekatannya selalu community, kelompok, alih-alih Amartha yang tagih buat bayar,” kata CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra dalam jumpa media di On3 Senayan, Jakarta, Selasa (26/11).
Taufan menjelaskan Amartha membangun tekanan rekan sebaya atau peer pressure dalam kelompok. Fintech ini membentuk social collateral alias jaminan kelompok, sehingga para ibu saling tanggung renteng. Artinya mereka menanggung utang secara bersama-sama.
“Memang ini lebih relevan dengan segmen ibu-ibu pedesaan. Karena rumahnya berdekatan, mereka saling mengenal satu sama lain,” ujar Taufan. Segmen ibu-ibu pedesaan sendiri adalah target usaha Amartha.
Selain untuk membantu menangani pembayaran utang, para ibu kerap dipekerjakan untuk membantu credit scoring UMKM peminjam di Amartha. Fintech ini sudah menggunakan AI untuk menentukan risiko kredit untuk menjadi pertimbangan pendanaan dari lender. Ibu-ibu ini akan memverifikasi data yang diimput dalam sistem.
“Ini yang kami jaga agar portofolio tetap sehat sampai sekarang,” kata Taufan.
Hingga kini, tingkat risiko kedit macet alias TWP90 Amartha senilai 2,71%. Angka ini masih jauh dari standar Otoritas Jasa Keuangan alias OJK sebesar 5%. Pinjaman sudah diberikan bagi lebih 2.660 juta usaha mikro dengan total pinjaman disalurkan sebesar Rp 23,9 triliun selama 14 tahun beroperasi.