MK Putuskan Perusahaan Asuransi Tak Bisa Batalkan Klaim Sepihak, Langgar UUD 45
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perusahaan asuransi tak bisa melakukan pembatalan klaim asuransi secara sepihak. Keputusan itu tertuang dalam Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dalam perkara Pengujian Materiil Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang ditetapkan pada Jumat (3/1).
Dalam keputusan terbaru, Mahkamah menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD yang dimohonkan oleh Pemohon inkonstitusional bersyarat. Gugatan itu diajukan oleh Maribati Duha.
“Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan,” tulis MK dalam putusan yang dikutip Sabtu (4/1).
Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Ridwan Mansyur, MK menyatakan yang menyebabkan norma Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat karena berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam. Perbedaan tafsir terutama terjadi jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkaitan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan itikad baik.
Menurut Ridwan, Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian. Ketentuan tersebut dinilai hanya memuat pilihan akibat yang timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan diketahui sebelumnya.
“Nampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung,” ucap Ridwan saat Pembacaan Pertimbangan Hukum.
Majelis hakim berpandangan, sifat suatu perjanjian seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian. Sementara, norma Pasal 251 KUHD hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung. Karena itu, Mahkamah akhirnya memberikan penegasan dan pemaknaan terhadap norma ketentuan Pasal 251 KUHD.
“Sifat suatu perjanjian yang seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian, yang di antaranya syarat kebebasan berkontrak dan harus adanya kesepakatan para pihak, di samping prinsip-prinsip yang lainnya,” ujar Hakim.
Alasan lain yang menjadi dasar MK menetapkan pembatalan klaim sepihak oleh perusahaan asuransi adalah bahwa norma ketentuan Pasal 251 KUHD adalah pasal yang merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal. Ketentuan ini dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini.
“Untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap norma Pasal 251 KUHD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan,” ujar Ridwan.
Dengan keluarnya keputusan ini, MK tidak menghendaki perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung suatu perjanjian asuransi menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban tertanggung. Terlebih, perjanjian asuransi memiliki sifat khusus karena masih didasarkan keadaan/peristiwa yang belum pasti terjadi.
“Seharusnya pihak penanggung dapat mempertimbangkan untuk meyakini kesepakatan yang akan diambil dalam menindaklanjuti perjanjian yang akan dibuat bersama dengan pihak tertanggung, bukan menjadikan norma Pasal 251 KUHD sebagai instrumen untuk berlindung dari kewajiban tertanggung,” ujar MK dalam putusannya.