Waswas Terhadap Kebijakan Prabowo, Orang Kaya RI Alihkan Aset ke Luar Negeri


Sejumlah orang kaya Indonesia mulai mengalihkan ratusan juta dolar Amerika Serikat (AS) ke luar negeri. Kekhawatiran terhadap arah kebijakan fiskal Presiden Prabowo Subianto serta stabilitas ekonomi menjadi pendorong utama gelombang pelarian dana ini.
Emas dan properti selama ini dikenal sebagai pelabuhan aman. Namun kini muncul pilihan baru yang semakin populer seperti cryptocurrency, khususnya stablecoin USDT milik Tether Holdings yang nilainya dipatok 1:1 terhadap dolar AS. Ketiga aset ini dipilih karena relatif mudah dipindahkan dan sulit dilacak, terutama dalam jumlah besar.
“Saya semakin sering membeli USDT dalam beberapa bulan terakhir,” kata Chan, mantan eksekutif puncak salah satu konglomerat besar di Indonesia dikutip dari Bloomberg, Jumat (12/4).
Menurut Chan, USDT memungkinkan dia menjaga nilai kekayaan dan memindahkannya ke luar negeri tanpa harus membawanya secara fisik. Dia mengaku sangat khawatir dengan arah ekonomi dan stabilitas politik di Indonesia.
Fenomena ini terungkap dari wawancara Bloomberg dengan lebih dari selusin manajer kekayaan, bankir swasta, penasihat, dan individu kaya, di mana semuanya meminta identitasnya dirahasiakan karena sifat informasinya yang sensitif.
Salah satu bankir swasta menyebut bahwa beberapa klien dengan kekayaan bersih antara US$100 juta hingga US$400 juta telah mengonversi hingga 10% aset mereka ke kripto. Peralihan ini dimulai sejak Prabowo resmi menjabat Oktober 2024, namun meningkat tajam setelah rupiah anjlok pada Maret 2025.
Pasar Saham dan Rupiah Tertekan
Rupiah sempat mencapai titik terendah sepanjang sejarah terhadap dolar AS pada 9 April 2025, sebelum mulai menguat keesokan harinya. Ketidakpastian juga dipicu oleh ketegangan perdagangan global, termasuk kebijakan tarif dari Presiden AS Donald Trump.
Pasar saham dan mata uang Indonesia ikut tertekan, imbas dari kekhawatiran atas pengeluaran fiskal yang membengkak, keterlibatan BUMN dalam politik, serta ambisi pertumbuhan ekonomi 8% per tahun dari Prabowo, yang dinilai tidak realistis tanpa ekspansi belanja negara yang luar biasa besar.
Analis utama untuk Indonesia di firma Global Counsel Dedi Dinarto menilai Investor khawatir lonjakan belanja pemerintah akan memperbesar defisit fiskal, utang, dan bahkan memicu inflasi.
“Kalau ingin menghentikan arus keluar dana, Prabowo perlu memberikan jaminan soal disiplin fiskal," katanya.
Peran Kripto dan Properti di Luar Negeri
USDT kini menjadi alat populer untuk menghindari deteksi dalam konversi mata uang dan pengiriman dana di atas US$100.000, yang bisa memicu pengawasan anti pencucian uang (AML) atau pendanaan terorisme (CFT).
Chief Marketing Officer Tokocrypto Wan Iqbal menilai pasangan mata uang USDT/rupiah kini menyumbang lebih dari 25% volume harian di Tokocrypto, bursa kripto milik Binance di Indonesia.
Investasi di properti juga meningkat. Sebagian dana digunakan untuk membeli rumah atau gedung komersial atas nama anggota keluarga atau teman, guna menghindari pengawasan. Beberapa bahkan mengajukan visa kerja ke Dubai, lalu membuat perusahaan cangkang untuk membeli properti di sana.
Di sisi lain, penjualan emas fisik oleh Hartadinata Abadi, pengecer emas non-BUMN terbesar di Indonesia, melonjak 30% pada kuartal I 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini menunjukkan kenaikan kuartalan tertinggi sejak perusahaan ini IPO pada 2017.
Pengawasan Aset di Timur Tengah Lebih Longgar
Selama ini, Singapura menjadi destinasi utama orang kaya Indonesia untuk menyimpan aset mereka. Namun, setelah skandal pencucian uang besar-besaran tahun lalu, bank-bank di Singapura mulai mengetatkan aturan Know Your Customer (KYC), yaitu prosedur untuk memverifikasi identitas nasabah, serta pemantauan transaksi.
Hal ini mendorong peralihan ke kawasan seperti Timur Tengah, yang dinilai lebih longgar dalam pengawasan aset.
Indonesia juga dinilai tidak memiliki kontrol ketat atas lalu lintas perpindahan dana individu, namun transaksi besar tetap bisa memicu pertanyaan regulator dan pemeriksaan lebih lanjut.
“Arus keluar ini belum sebesar krisis 1998, tapi tren sedang meningkat,” ujar seorang bankir swasta.
Sebelumnya, Indonesia pernah menjalankan program amnesti pajak pada 2022 yang berhasil menarik dana tersembunyi bernilai miliaran dolar AS. Kini, pemerintah kembali menghadapi tantangan besar untuk meyakinkan investor dalam dan luar negeri agar tetap menanamkan modalnya di tengah ketidakpastian kebijakan.