AS Kritik QRIS dan GPN, Gara-gara Bisnis Mastercard-Visa Terganggu?


Pemerintah Amerika Serikat mengkritik kebijakan standar nasional kode pembayaran QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional atau GPN yang dibuat Bank Indonesia. Dua kebijakan ini dianggap sebagai hambatan perdagangan yang menjadi pertimbangan dalam negosiasi tarif resiprokal yang saat ini sedang berjalan.
Kritik pemerintahan Trump terhadap dua kebijakan bank sentral ini termuat dalam laporan National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pada 31 Maret 2025.
Penerapan QRIS diatur dalam Peraturan BI No. 21/2019, yang menetapkan standar nasional untuk seluruh pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia. Menurut USTR, perusahaan-perusahaan AS. termasuk penyedia pembayaran dan bank mencatatkan kekhawatiran terkait proses pembuatan kebijakan QRIS.
BI dianggap tidak memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan internasional untuk memberikan pandangan mereka, termasuk bagaimana sistem tersebut dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada.
USTR juga mengkritik kebijakan GPN. Peraturan BI No. 19/08/2017 mewajibkan seluruh transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN di Indonesia dengan izin BI. Peraturan itu juga memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% bagi perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN.
AS juga menyoroti kewajiban perusahaan asing membentuk perjanjian kerja sama dengan switch GPN Indonesia yang memiliki izin untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN. Selain itu, ada kewajiban BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut mengharuskan persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi.
USTR juga menyoroti implementasi Cetak Biru Sistem Pembayaran BI yang menerapkan batasan kepemilikan asing sebesar 85% untuk operator layanan pembayaran nonbank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, tetapi hanya boleh memiliki 49% saham dengan hak suara.
AS juga menyoroti batas kepemilikan asing untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, atau perusahaan back-end, tetap sebesar 20%. Menurut USTR, para pemangku kepentingan telah menyatakan kekhawatiran mengenai kurangnya konsultasi BI sebelum mengeluarkan peraturan.
Laporan USTR juga menyoroti kekhawatiran terkait amanat BI yang mewajibkan transaksi kartu kredit diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah.
"Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS," demikian laporan USTR.
Bisnis Visa dan Mastercard Terganggu
Kebijakan QRIS dan GPN selama ini dinilai menghambat bisnis Visa dan Mastercad yang sebelumnya mendominasi transaksi pembayaran di Indonesia.
Bank Indonesia mencatat, transaksi QRIS hingga Januari 2025 telah menembus Rp 80 triliun. Adapun perbankan di Indonesia sejak 2018 wajib menerbitkan kartu debit GPN yang harus dimiliki setiap nasabah.
Visa dan Mastercard pada akhir 2018 sempat meminta pemerintah AS agar melobi pemerintah Indonesia dan BI untuk melonggarkan aturan terkait GPN. Mengutip Reuters, upaya lobi kepada pemerintah Indonesia ini dirinci dalam lebih dari 200 halaman komunikasi email antara pejabat perdagangan AS dan eksekutif perusahaan kedua prinsipal kartu itu.
Email-email yang tertanggal antara April 2018 dan Agustus 2019 menunjukkan bahwa Mastercard melobi kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) untuk menentang aturan data baru dan sistem pembayaran lokal di Indonesia, India, Vietnam, Laos, Ukraina dan Ghana. Sejumlah email juga menunjukkan Visa turut terlibat dalam diskusi tersebut.
Perusahaan-perusahaan AS sering kali melobi pemerintahan Negara Paman Sam itu untuk membantu masalah bisnis mereka di luar negeri. Namun, diskusi dilakukan secara tertutup.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional, seluruh transaksi pembayaran di dalam negeri wajib diselesaikan secara domestik. Namun, aturan tersebut baru menetapkan batas waktu pemberlakuan kewajiban itu untuk transaksi kartu ATM dan debet pada Juni 2018.
Sementara untuk instrumen lain, disebut bakal diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG). Hingga kini, belum ada PADG yang mengatur batas waktu pemberlakuan kewajiban pemrosesan transaksi pembayaran domestik untuk kartu kredit.
Adapun dalam peta jalan GPN yang disosialisasikan BI pada akhir 2016, BI sebenarnya telah memiliki jadwal implementasi transaksi kartu kredit secara domestik yang ditargetkan terlaksana pada 2019.
Pada 2023, pemerintah mewajibkan transaksi pembayaran kartu kredit untuk diproses di dalam negeri, tetapi terbatas pada kartu kredit pemerintah dan pemerintah daerah.