AS Sebut QRIS dan GPN Hambat Perdagangan, Ini Tanggapan BCA


PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) merespons kritik Pemerintah Amerika Serikat terhadap kebijakan Bank Indonesia terkait sistem pembayaran nasional, yakni standar kode pembayaran QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
AS menganggap QRIS dan GPN menjadi menjadi penghambat perdagangan. Hal ini juga menjadi pertimbangan dalam negosiasi tarif resiprokal AS dengan Indonesia.
Meski demikian, EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, menegaskan bahwa BCA terus mendukung perkembangan sistem pembayaran nasional.
"Sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan regulator, BCA menyediakan infrastruktur pembayaran berbasis QRIS untuk mempermudah transaksi masyarakat," ujarnya saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (22/4).
BCA juga mendukung implementasi QRIS Tanpa Pindai (QRIS TAP) yang memanfaatkan teknologi Near Field Communication (NFC). Fitur ini dapat digunakan melalui aplikasi myBCA versi minimal 2.2.0 pada menu 'NFC Pay', khusus untuk pengguna Android dengan fitur NFC.
"Saat ini, QRIS TAP BCA telah tersedia di lebih dari 324.000 merchant," kata Hera.
AS Kritik QRIS dan GPN
Kritik terhadap kebijakan QRIS dan GPN sebelumnya disampaikan AS dalam laporan National Trade Estimate (NTE) yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pada 31 Maret 2025. QRIS diatur dalam Peraturan BI No. 21/2019 yang menetapkan standar nasional untuk semua pembayaran berbasis kode QR di Indonesia.
Menurut USTR, perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan perbankan, menyampaikan kekhawatiran atas proses penyusunan kebijakan QRIS. BI dinilai tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional dalam proses perumusan, termasuk soal integrasi sistem dengan jaringan pembayaran.
Kritik juga diarahkan pada kebijakan GPN yang diatur dalam Peraturan BI No. 19/08/2017. Aturan tersebut mewajibkan seluruh transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN berizin BI. Selain itu, terdapat pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% bagi perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk GPN.
AS juga menyoroti keharusan perusahaan asing membentuk kerja sama dengan penyedia switching GPN dalam negeri, serta kewajiban mendapatkan persetujuan BI atas perjanjian tersebut. Persetujuan tersebut hanya diberikan jika mitra asing mendukung pengembangan industri domestik, termasuk melalui alih teknologi.
Laporan USTR turut mengkritisi Cetak Biru Sistem Pembayaran BI, yang membatasi kepemilikan asing di operator layanan pembayaran nonbank (perusahaan front-end) maksimal 85%, dengan hak suara hanya 49%. Sementara, untuk operator sistem pembayaran back-end, batas kepemilikan asing tetap 20%.
"Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS," demikian tertulis dalam laporan USTR.
Laporan ini juga menyoroti kebijakan BI yang mewajibkan transaksi kartu kredit diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah.