OJK Pastikan Bank DKI Belum Beri Sinyal untuk IPO


Rencana penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) Bank DKI kembali menjadi sorotan usai mendapat restu dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun ini. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa hingga saat ini belum menerima pengajuan resmi dari Bank DKI terkait proses IPO tersebut.
“Perlu saya jelaskan bahwa sampai saat ini belum ada konsultasi atau pernyataan pendaftaran atas IPO Bank DKI,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, Kamis (9/5).
Meski demikian, OJK menilai prospek IPO di sektor perbankan masih terbuka lebar. Hal ini didorong oleh kebutuhan perbankan untuk memperkuat struktur permodalan, mendukung ekspansi usaha serta mendorong digitalisasi dan inovasi produk keuangan.
Inarno mengatakan keberhasilan IPO sangat bergantung pada pemenuhan sejumlah prasyarat mendasar, seperti kesiapan operasional, tata kelola yang baik, serta perlindungan terhadap investor. “Selain itu, timing yang tepat dan valuasi optimal juga menjadi kunci keberhasilan IPO, terlebih di tengah volatilitas pasar global,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa investor saat ini cenderung lebih selektif dalam menempatkan dana. Oleh karena itu, calon emiten perlu memiliki model bisnis yang adaptif dan strategi jangka panjang yang jelas untuk menarik minat pasar.
Tak hanya Bank DKI, OJK juga membuka peluang IPO bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS), seiring dengan terbitnya Peraturan OJK (POJK) Nomor 7 Tahun 2024. Regulasi ini memungkinkan BPR/BPRS dengan modal inti minimum Rp 80 miliar untuk mencatatkan sahamnya di bursa sebagai bagian dari strategi diversifikasi pendanaan.
“Kami sangat terbuka terhadap BPR dan BPRS yang ingin IPO, tapi sampai sekarang belum ada pendaftaran resmi yang masuk,” sebutnya.
Ada 31 Perusahaan yang Beraset Jumbo Antre IPO
Di lain kesempatan, BEI melaporkan bahwa hingga 10 April 2025 terdapat 32 calon emiten dengan aset besar yang sedang mengantre untuk melakukan IPO. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengungkapkan bahwa total 32 perusahaan tersebut telah masuk dalam daftar pipeline pencatatan saham di BEI. Klasifikasi aset perusahaan tersebut mengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 53/POJK.04/2017.
Berdasarkan data BEI, dari total calon emiten tersebut, sebanyak 3 perusahaan tergolong skala kecil dengan aset di bawah Rp 50 miliar. Sementara itu, 17 perusahaan termasuk dalam kategori skala menengah dengan aset antara Rp 50 miliar hingga Rp 250 miliar. Adapun 12 perusahaan lainnya diklasifikasikan sebagai perusahaan beraset besar, yakni di atas Rp 250 miliar.
“Sampai dengan 10 April 2025, telah tercatat sebanyak 11 perusahaan yang resmi mencatatkan sahamnya di BEI, dengan total dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp5,92 triliun,” tulis Nyoman dalam laporannya, Jumat (11/4).
Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa hingga periode yang sama, terdapat dua perusahaan yang telah melakukan aksi penambahan modal melalui skema rights issue dengan total dana Rp 470 miliar. Di sisi lain, BEI masih mencatat adanya empat perusahaan lain yang tengah berada dalam pipeline rights issue.