Industri Farmasi di Tengah Pandemi, Untung atau Buntung?
Pandemi Covid-19 secara nyata telah melumpuhkan banyak sektor bisnis karena keterbatasan ruang gerak masyarakat. Namun, banyak pihak yang memprediksi, industri farmasi menjadi salah satu yang mampu tumbuh di tengah pandemi Covid-19.
Holding BUMN farmasi PT Bio Farma (Persero) membantahnya. Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan pandangan industri farmasi mampu diuntungkan dengan pandemi ini tidak sepenuhnya benar. Alasannya, industri farmasi dalam negeri masih harus menanggung beban biaya untuk mendatangkan bahan baku yang harganya naik 3 sampai 5 kali lipat.
"Permasalahan kami adalah bahan baku. Bahan baku di Indonesia untuk farmasi itu 90% tetap impor. Pada saat pandemi ini, semua negara rebutan suplai bahan baku," kata Honesti saat hadir dalam rapat dengan DPR di Jakarta, Senin (5/10).
Sementara, suplai bahan baku obat-obatan hanya dikuasai oleh beberapa negara saja seperti Tiongkok dan India. Keterbatasan suplai tersebut, diperparah dengan kebijakan masing-masing negara yang membatasi ekspor bahan baku obat, karena mencoba memastikan ketahanan kesehatan negaranya masing-masing.
Di tengah keterbatasan suplai tersebut, ternyata permintaan akan bahan baku obat meningkat di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, seperti hukum ekonomi, harga bahan baku tersebut menjadi naik berkali-kali lipat dari biasanya.
"Faktor lain tentu ada, seperti faktor kurs,” ujarnya. Perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, terutama dolar Amerika Serikat, sangat berpengaruh, karena mayoritas bahan baku farmasi harus impor.
Ia mengakui, memang ada sedikit peningkatan dari sisi pendapatan perusahaan, tapi terbilang tipis. Sehingga, kenaikan beban biaya bahan baku obat tersebut, tidak bisa diimbangi dengan kenaikan pendapatan perusahaan yang cukup tajam. "Meski begitu, kami mencoba menyeimbangkan dari sisi beban (cost) lain yang kami bisa efisienskan," ujarnya.
Berdasarkan data yang dibagikan oleh Honesti dalam paparannya di DPR, pada semester I 2020, pendapatan Bio Farma tercatat senilai Rp 735 miliar. Sayangnya, dalam paparan tersebut, Honesti membandingkannya dengan pendapatan sepanjang 2019 yang senilai Rp 2,54 triliun, bukan dengan semester I 2019.
Sementara, Bio Farma mencatatkan laba bersih pada enam bulan pertama 2020 ini senilai Rp 55 miliar. Sama seperti pos pendapatan, Honesti membandingkannya dengan laba bersih pada 2019 secara penuh yang senilai Rp 380 miliar.
Secara konsolidasi, pendapatan Bio Farma (termasuk Kimia Farma dan Indofarma) sepanjang semester I-2020 sebesar Rp 5,79 triliun. Nilai ini baru mencapai 44% dari total pendapatan tahun lalu. Perolehan laba bersihnya pun hanya Rp 94 miliar atau 25% dari total laba bersih tahun lalu Rp 380 miliar.
Terdampak Pandemi Covid-19
Selain Dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, Kimia Farma mengakui pandemi telah mengganggu usaha perseroan. "Berdampak pada pembatasan operasional," tulis manajemen Kimia Farma, 15 Agustus lalu. Pembatasan operasional akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini diperkirakan berlangsung 1-3 bulan.
Perseroan mengaku pembatasan kegiatan operasional ini mempengaruhi kinerja keuangan perseroan kurang dari 25%. Namun, hal ini tidak sampai berpengaruh pada pengurangan pekerja yang totalnya saat ini mencapai 13.052 orang.
Berdasarkan data laporan keuangan, pendapatan Kimia Farma semester I-2020 naik 3,6% menjadi Rp 4,68 triliun. Laba bersihnya pun naik 1,72% menjadi Rp 48,57 miliar. Sementara total kas dan setara kasnya mengalami penurunan hingga 54,6% menjadi Rp 617 miliar.
Kimia Farma juga menjelaskan strategi atau upaya mempertahankan kelangsungan usaha di tengah pandemi Covid-19. Beberapa yang dilakukan adalah menjaga saldo kas dan setara kas minimum untuk keperluan operasional. Kemudian menurunkan jumlah hari piutang, persediaan dan pinjaman berbunga.
Perseroan juga mengurangi anggaran belanja modal (capex) dan melakukan efisiensi usaha. Tahun ini Kimia Farma menganggarkan capex Rp 547 miliar untuk pengembangan apotek, klinik, laboratorium klinik, dan fasilitas produksi obat. Hingga Juni, anggaran capex tersebut sudah terpakai 54%.
Indofarma yang selama tiga tahun merugi, baru mendapat untung pada tahun lalu Rp 7,96 miliar. Namun, pandemi membuat perseroan kembali merugi di paruh pertama tahun ini. Laporan keuangan Indofarma mencatat rugi sepanjang semester I-2020 sebesar Rp 4,66 miliar. Meski begitu, perseroan masih optimistis menargetkan tahun ini mendapatkan laba bersih hingga Rp 22,3 miliar.
Direktur Utama Indofarma Arief Pramuhanto berharap ada kenaikan kinerja keuangan tahun ini. Dia mengakui dalam kondisi pandemi ini penjualan farmasi dan alat kesehatan (alkes) perseroan yang terkait Covid-19 mengalami kenaikan. Namun, produk yang tidak terkait Covid-19 malah mengalami penurunan.
Menurutnya, saat ini tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate) rumah sakit saat ini hanya sekitar 54%. Hal ini berdampak pada penurunan penjualan obat-obatan Indofarma. "Kami harap kenaikan penjualan farmasi dan alkes Covid-19 masih bisa mengimbangi penurunan dari yang non-covid," ujarnya saat RDP dengan Komisi VI, Senin (5/10).
Perusahaan farmasi swasta, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), juga mengalami penurunan penjualan salah satu jenis farmasinya. Direktur Utama Kalbe Farma Vidjongtius mengatakan penjualan obat resep terjadi penurunan karena pasien reguler (non-covid) di rumah sakit turun. Masyarakat menghindari kunjungan ke rumah sakit selama pandemi.
“Tapi obat bebas (OTC) seperti vitamin, supplemen, herbal terjadi pertumbuhan yang positif. Jadi merupakan kombinasi pertumbuhan,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (5/10).
Sepanjang semester I tahun ini, total penjualan Kalbe Farma memang masih tumbuh 3,76% menjadi Rp 11,6 triliun. Meski begitu, pertumbuhannya lebih rendah dari capaian semester I tahun lalu yang mencapai 7%.
Kalbe bahkan telah merevisi target pertumbuhan tahun ini. Pada tahun lalu, pertumbuhan penjualan Kalbe mencapai 7,4%. Saat awal tahun perseroan masih optimistis menetapkan target tahun ini 6-8% dan laba bersih 5-6%. Namun, saat merilis kinerja keuangan semester I-2020, Kalbe memangkas target penjualan tahun ini menjadi 4-6%.
Direktur Keuangan Perusahaan Kalbe Farma Bernadus Karmin Winata mengatakan revisi target tahun ini dilakukan karena melihat kondisi pandemi Covid-19 yang mungkin akan berkepanjangan. “Walaupun dampak Covid-19 terhadap makroekonomi Indonesia di kuartal kedua tahun 2020 cukup menantang, Perseroan dapat mempertahankan pertumbuhan penjualan dan laba bersih yang positif dan stabil,” ujarnya, Juli lalu.