BNI Pilih Tak Kembangkan Anak Usaha Bank Digital, Mengapa?
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) terus melakukan transformasi digital untuk mengembangkan bisnis yang lebih luas. Transformasi tersebut dilakukan langsung di induk usahanya, bukan mendirikan atau mengakuisisi bank digital baru sebagai anak usahanya. Ternyata ada alasan kuat di balik keputusan bisnis tersebut.
Direktur IT dan Operasi BNI Y.B. Hariantono mengatakan jika membuat bank digital baru dengan membuat anak usaha, bank tersebut harus mencari pelanggan dari awal. Sedangkan untuk mencari pelanggan, tidak semudah membalikan telapak tangan.
"Kami melihat banyak sekali kasus untuk membangun bank digital mulai dari nol itu menjangkau pelanggannya tidak mudah," kata Hariantono dalam acara Indonesia Data and Economic Conference 2021 yang diselenggarakan Katadata.co.id bekerja sama dengan Bank Negara Indonesia, Rabu (24/3).
Beberapa bank digital baru yang terhitung sukses di mancanegara, menempelkan layanannya ke dalam ekosistem yang sudah ada, sehingga basis pelanggannya sudah ada. Akan lebih berat jika tidak memiliki ekosistem dengan membuat bank baru.
Saat ini beberapa bank melakukan upaya transformasi digital melalui anak usahanya. Seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang menegembangkan bank digital melalui anak usahanya PT BRI Agroniaga Tbk (AGRO).
Begitu juga dengan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia pada 2019 untuk dijadikan bank digital. Rencananya, bank digital tersebut siap diluncurkan pada paruh pertama 2021 ini.
Saat ini, BNI sebagai bank konvensional, memiliki basis pelanggan lebih dari 50 juta. Jika membuat bank digital baru, maka harus mencari basis pelanggan dari nol dan bersaing dengan induknya sendiri maupun pemain-pemain lainnya.
"Opsi yang lebih visible untuk bank konvensional adalah melakukan digitalisasi services. Jadi mengubah bank konvensional menjadi digital di seluruh servis," katanya.
Menurutnya, ada 3 area bank konvensional perlu melakukan transformasi. Pertama, di proses internalnya, produk-produk yang dimiliki bank tersebut diproses secara digital. Hal tersebut diperlukan agar produk tersebut lebih tepat sasaran dan dalam satu waktu (real time).
Area kedua, yang perlu digitalisasi adalah platform tempat menjual produk perbankan, seperti transformasi mobile banking menjadi platform digital banking untuk mengikuti selera nasabah. "Sesuatu yang mengikuti selera user kami dan platform yang lebih engaged dengan mereka," ujar Hariantono.
Ketiga, adalah melakukan open banking service ke ekosistem digital yang ada. Seperti menghubungkan servis perbankan berupa application programming interface (API) ke ekosistem yang sudah ada.
"Sampai saat ini, BNI sudah memiliki 260 open API services yang dipakai lebih dari 3.000 institusi atau partner," katanya.
Saat ini transaksi digital sudah mengalahkan transaksi di kantor cabang. Ini bisa dilihat dalam databoks di berikut:
Perlunya transformasi digital oleh bank konvensional, bukan tanpa tantangan. Menurut Hariantono, mentransformasi bank konvensional menjadi digital, lebih sulit dibandingkan dengan bank digital yang baru. Pasalnya, bank konvensional sudah mempunyai produk dan menjualnya, baik itu kredit, pembayaran, dan lainnya.
Apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan teknologi finansial (fintech) yang jauh lebih mudah menerapkan inovasi. Perusahaan digital seperti fintech, tidak memiliki produk sendiri yang harus dijalankan bersamaan dengan upaya digitalisasi.
"Sehingga fintech tidak memiliki beban untuk mengoperasikan produk, menciptakan produk, dan melakukan pemeliharaan segala macam produknya. Sedangkan bank konvensional lebih berat karena harus menjalankan lebih banyak komponen," kata Hariantono.
BNI perlu melakukan transformasi digital karena adanya teknologi yang membuat bank milik pemerintah tersebut mampu menggapai lebih mudah nasabah atau menarik nasabah baru. Pasalnya, BNI memiliki platform untuk menggapai nasabah secara langsung, maupun melalui kolaborasi dengan platform digital lainnya.
Menurutnya, bank yang menjalankan bisnis menjual barang dan jasa, perlu memiliki banyak platform untuk menjangkau lebih banyak nasabah, baik melalui platform sendiri maupun platform perusahaan digital lain. Sedangkan platform digital, perlu menggandeng penjual barang dan jasa masuk ke dalam platform-nya.
"Dunia sekarang serba digital, sekarang semua serba terkoneksi. Sehingga sekarang ada opsi menjual produk di platform digital manapun dan digital platform menjual apapun, menjadi kejadian saat ini," kata Hariantono.