Daftar Emiten Backdoor Listing: Dari Peter Sondakh hingga Salim Group
Rencana PT Global Digital Niaga, pengelola e-commerce Blibli.com, mengakuisisi 51% saham emiten retail PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC) menghembuskan spekulasi strategi pencatatan melalui jalur belakang di Bursa Efek Indonesia. Siapa saja emiten yang pernah menjalankan backdoor listing?
Backdoor listing merupakan salah satu cara bagi perusahaan swasta untuk menjadi perusahaan publik. Menurut Investopedia, strategi ini dilakukan perusahaan jika tidak memenuhi persyaratan untuk tercatat di bursa saham.
Dalam penjelasan lebih lanjut, skema backdoor listing salah satunya bisa dilakukan melalui akuisisi mayoritas saham. Lalu, pemilik baru ini menggabungkan operasi perusahaan baru dengan perusahaan lama. Alternatif lainnya, pemilik baru ini membuat perusahaan cangkang yang memungkinkan kedua perusahaan melanjutkan operasi secara independen satu sama lain.
Pengamat Pasar Modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada mengatakan, pencatatan di pasar modal melalui skema backdoor listing ini membawa sejumlah keuntungan. Salah satunya, perusahaan tertutup ttidak perlu melakukan persiapan IPO dari awal seperti emiten-emiten lain.
"Karena tinggal ambil perusahaan terbuka, buat keterbukaan informasi, dan dimungkinkan untuk rapat umum pemegang saham," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (16/9).
Praktik backdoor listing bukan barang baru di pasar saham Tanah Air, karena sejumlah emiten sudah melakukannya. Emiten tersebut mulai dari AirAsia, perusahaan milik pebisnis Benny Tjokrosaputro, Grup Rajawali milik Peter Sondakh, hingga Indomaret milik Salim Group.
PT AirAsia Indonesia Tbk
PT AirAsia Indonesia Tbk masuk ke pasar modal melalui perusahaan terbuka PT Rimau Multi Putra Pratama Tbk. Sebelum berubah menjadi perusahaan penerbangan, emiten berkode saham CMPP ini sebenarnya merupakan perusahaan yang bergerak di sektor tambang.
CMPP menerbitkan 13,65 miliar saham baru dengan harga Rp 250 per saham melalui skema hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Rasio delusi dari penerbitan saham baru ini mencapai 97,97%. Kala itu, CMPP dimiliki oleh PT Rimau Multi Investama sebesar 76,24% dan saham masyarakat 23,76%.
Dalam penerbitan saham baru tersebut, Rimau Multi Investama mengalihkan haknya kepada Air Asia Investment Ltd dan PT Fersindo Nusaperkasa sebagai pembeli siaga. Keduanya juga merupakan pemegang saham PT Indonesia AirAsia (IAA).
Setelah proses rights issue selesai, komposisi pemegang saham CMPP menjadi Fersindo Nusaperkasa 49,96%, Air Asia Investment Ltd 48%, Rimau Multi Investama 1,55%, dan masyarakat tersisa 0,48%.
Penerbitan saham baru tersebut membuat CMPP mengantongi dana segar Rp 3,4 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 76% digunakan untuk mengambil alih surat berharga sekuritas perpetual milik IAA senilai Rp 2,6 triliun. Sekuritas perpetual tersebut dikonversi menjadi saham IAA.
Akibat konversi tersebut, CMPP memiliki 57,25% saham IAA. Artinya, secara tidak langsung, IAA menjadi perusahaan terbuka melalui CMPP dan nama perusahaan CMPP pun menjadi PT AirAsia Indonesia Tbk.
Namun, saham ini sudah digembok bursa sejak 5 Agustus 2019 atau sudah lewat dari 24 bulan. Sesuai ketentuan BEI, perdagangan saham ini harus dihentikan sementara karena persoalan porsi dan jumlah pihak pemegang saham publik. Saat ini AirAsia Indonesia dimiliki 49,25% oleh AirAsia Investment Ltd dan 49,16% oleh Fersindo Nusaperkasa. Sedangkan masyarakat hanya 1,59%.
PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO)
Emiten lain yang pernah menjadi target backdoor listing adalah PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO). Pada Maret 2017, Rimo menerbitkan saham baru melalui rights issue senilai Rp 4,2 triliun dengan efek dilusi 99% bagi pemegang saham yang tidak melaksanakan haknya.
Dalam rights issue tersebut, para pemegang saham RIMO tidak mengeksekusi haknya. Hampir seluruh saham baru itu diborong oleh pebisnis Benny Tjokrosaputro selaku pembeli siaga.
Dana hasil rights issue tersebut digunakan senilai Rp 3,94 triliun untuk mengakuisisi PT Hokindo Properti Investama, perusahaan yang juga dimiliki oleh Benny Tjokro. Akuisisi ini, membuat Rimo mengubah haluan bisnisnya dari sektor retail ke properti. Dengan aksi korporasi akuisisi tersebut, maka Hokindo Properti resmi masuk ke Bursa tanpa melalui proses penawaran umum perdana alias initial public offering (IPO).
Nasib saham Rimo saat ini di Bursa Efek Indonesia, tidak jauh berbeda dengan saham AirAsia. Sejak 11 Februari 2020, perdagangan saham Rimo dihentikan oleh Bursa atas perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Harga saham Rimo di pasar saham Rp 50 per saham atau masuk jajaran saham gocap.
PT Hanson International Tbk (MYRX)
Perusahaan yang juga dijadikan target backdoor listing masih berhubungan dengan Benny Tjokrosaputro, yaitu PT Hanson International Tbk (MYRX). Bentjok, sapaan akrabnya, memiliki saham MYRX setelah memberikan pinjaman senilai Rp 408,8 miliar pada 2011, namun perusahaan tidak mampu membayar. Sehingga utang tersebut dikonversi menjadi saham.
Aksi korporasi backdoor listing terjadi pada akhir November 2013, dimana MYRX mengakuisisi 99,99% saham PT Mandiri Mega Jaya yang merupakan perusahaan properti milik Bentjok, dengan nilai mencapai Rp 4 triliun. Dengan begitu, Mandiri Mega Jaya secara tidak langsung melantai di Bursa tanpa melalui skema IPO.
Dana yang digunakan MYRX untuk akuisisi Mandiri Mega Jaya berasal dari penerbitan saham baru alias rights issue. Berdasarkan prospektusnya, Hanson menerbitkan saham baru senilai Rp 4,59 triliun yang berasal dari penerbitan 8,36 miliar saham dengan harga penawaran Rp 550 per saham. Dalam aksi korporasi tersebut, yang bertindak sebagai pembeli siaga adalah Odyssey Asia Fund.
Sejak perdagangan 16 Januari 2020, saham MYRX disuspensi oleh BEI. Ini dilakukan setelah pengakuan perusahaan bahwa sudah terjadi gagal bayar pinjaman individu. Harga saham MYRX sebelum dibekukan ada di harga Rp 50 per saham.
PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT)
Daftar emiten selanjutnya yang dijadikan sasaran backdoor listing adalah PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) yang sebelumnya bernama PT BW Plantation Tbk. Aksi korporasi ini bermula dari langkah pebisnis Peter Sondakh melalui PT Rajawali Capital Internasional yang mengakuisisi 51% saham BW Plantation pada 2014.
Masuknya Peter Sondakh ke BW Plantation dilakukan melalui penerbitan saham baru alias rights issue. Kala itu, perusahaan mampu meraup dana Rp 11 triliun karena menawarkan harga saham baru Rp 400 per saham.
Dana dari penerbitan saham baru itu lantas digunakan BW Plantation untuk mengakuisisi Group Green Eagle milik Peter Sondakh dengan nilai transaksi Rp 10,53 triliun. Nilai tersebut terdiri dari ekuitas Rp 8,52 triliun dan utang Rp 2 triliun.
Harga saham emiten berkode BWPT di pasar saham pada penutupan perdagangan 16 September 2021, di harga Rp 74 per saham. Dibandingkan dengan harga saham saat IPO pada 27 Oktober 2009, harga saham BWPT tercatat turun 86,54%.
PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET)
Entitas Salim Group juga melakukan backdoor listing PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) melalui PT Dyviacom Intrabumi Tbk. Bermula dari langkah rights issue DNET pada 2013, di mana perusahaan melepas sebanyak 14 miliar saham dengan harga penawaran Rp 500 per saham. Alhasil, perusahaan mampu meraup dana Rp 7 triliun.
Dana hasil penerbitan saham baru ini digunakan oleh DNET untuk mengakuisisi dua perusahaan yang sudah listing di Bursa, yaitu PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST) yang merupakan pengelola waralaba Kentucky Fried Chicken (KFC) dengan kepemilikan 35,85% senilai Rp 1,99 triliun. Lalu, mengakuisisi PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) pemilik merek Sari Roti sebanyak 31,5% dengan nilai Rp 2,13 triliun.
Selain itu, DNET menggunakan dana tersebut untuk melakukan akuisisi perusahaan yang belum melakukan listing di Bursa yaitu PT Indomarco Prismatama pengelola gerai Indomaret sebanyak 40% dengan nilai Rp 2,63 triliun. Sehingga, secara tidak langsung, Indomaret telah melakukan listing di Bursa melalui skema backdoor listing.
Untuk diketahui, perusahaan-perusahaan yang diakuisisi oleh DNET merupakan bagian dari Grup Salim. Sementara, DNET dikendalikan oleh PT Megah Eraraharja yang merupakan bagian dari Grup Salim. Anthoni Salim pun tercatat memiliki saham DNET dengan porsi 25,3% per 31 Agustus 2021.