Apexindo Kantongi Laba setelah Terpuruk Tahun Lalu, Ini Tiga Pemicunya
Emiten pengeboran minyak dan gas, PT Apexindo Pratama Duta Tbk mengantongi laba bersih US$ 3,1 juta atau setara Rp 44,4 miliar (Asumsi kurs Rp 14.332/US$) sampai kuartal III 2021, dari semula mengalami rugi bersih US$ 14,2 juta atau sekitar Rp 203,5 miliar. Selanjutnya, perseroan memperkirakan laba akan tumbuh positif pada 2022.
Berdasarkan paparan Apexindo, laba kotor pada Januari-September 2021 tumbuh 114% atau dua kali lipat lebih menjadi US$ 15 juta dari capaian periode yang sama tahun lalu senilai US$ 7 juta. Pertumbuhan itu berhasil dicapai walaupun pendapatan tercatat turun 10,63% dari US$ 47 juta menjadi US$ 42 juta hingga kuartal III-2021.
"Ini berjalan seiring dengan (peningkatan) EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, penyusutan, dan amortisasi) pada tahun lalu yang lebih tinggi," kata Corporate Secretary Apexindo Pratama Duta Frieda Salvatina pada paparan publik perseroan, Rabu (8/12).
EBITDA emiten berkode saham APEX ini tercatat naik 66,66% secara tahunan pada Januari-September 2021 menjadi US$ 15 juta dari US$ 9 juta. Sementara itu, margin EBITDA perseroan tumbuh dari 20% menjadi 35%.
General Manager of Corporate Finance dan Investor Relation Apexindo Pretycia Darma menjelaskan hal itu disebabkan oleh tiga strategi yang dijalankan perseroan. Pertama, adanya pendapatan dari bisnis selain pengeboran migas, yakni mobilisasi dan penyewaan peralatan perseroan. Pendapatan dari bisnis lain ini tercatat tumbuh sebesar 70%.
EBITDA yang didapat dari bisnis lain terbilang besar lantaran biaya yang dikeluarkan cukup minim. Alhasil, margin EBITDA perseroan juga terangkat. Namun, Pretycia belum dapat memastikan bahwa perseroan akan meningkatkan pendapatan dari bisnis non-utama ini atau tidak. Pasalnya, salah satu pendorong pertumbuhan bisnis lain perseroan adalah permintaan klien perseroan terkait penyewaan peralatan perseroan.
Kedua, efisiensi biaya operasional yang ketat sepanjang 2021. Salah satu strategi yang diterapkan adalah menurunkan biaya operasi pada rig perseroan yang tidak bekerja dan melakukan efisiensi pada rig yang masih bekerja.
"Tapi, kami tetap mementingkan kesejahteraan karyawan dan aspek keselamatan karyawan kami," kata Pretycia.
Ketiga, kenaikan nilai kontrak yang didapatkan perseroan pada tahun ini. Sebagai informasi, perseroan baru mendapatkan kontrak baru pada April-September 2021, sedangkan kontrak pekerjaan sebelumnya berakhir pada April-September 2020.
Nilai kontrak harian atau daily rate yang didapatkan pada tahun naik 30% - 40% dibandingkan kontrak yang didapatkan tahun lalu. Kenaikan daily rate itu didorong oleh naiknya harga minyak bumi dunia.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga minyak Brent secara tahun berjalan pada 2021 terus membaik. Harga minyak Brent bahkan pernah menyentuh level US$ 86 per barel pada Oktober 2021, sedangkan harga Brent per 5 Desember 2021 mencapai US$ 69,91 per barel.
Adapun, rig perseroan yang telah mendapatkan kontrak tersebut adalah rig lepas pantai, seperti Rig Raisis, Rig Tasha, Rig Yani, dan Rig Raniworo. Seluruh rig tersebut telah berkontrak dengan PT Pertamina.
Alhasil, perseroan memproyeksikan pendapatan perseroan pada 2022 akan lebih baik dari tahun ini. Pasalnya, sebagian rig memiliki kontrak hingga 2024.
Analis Pasar Modal sekaligus Founder Bageur Stock Andy Wibowo Gunawan meramalkan harga minyak Brent pada 2022 akan terus tumbuh. Menurutnya, harga minyak Brent akan berada di rentang US$ 75 - US$ 80 per barrel.
Pertumbuhan harga itu disebabkan oleh terjaganya pasokan minyak dari Amerika Serikat pasca masuk ke Paris Climate Agreement. Seperti diketahui, Amerika Serikat menggenjot produksi minyak hingga 1.000 barrel per minggu pada 2016-2020 yang membuat harga minyak dunia tertekan.
Dari dalam negeri, sentimen tingkat vaksinasi dinilai akan mempengaruhi kinerja emiten-emiten sektor minyak dan gas. Jika harga minyak Brent berhasil mencapai ramalannya, Andy menilai emiten sektor minyak dan gas layak untuk dikoleksi.