Bos Indofood soal Harga Mi Instan Naik Tiga Kali Lipat: Berlebihan
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menggulirkan isu adanya potensi kenaikan harga mi instan hingga tiga kali lipat dari harga saat ini. Penyebabnya, perang Rusia dan Ukraina menyebabkan komoditas gandum sebagai bahan baku utama mi instan sulit didapat, dan mempengaruhi industri makanan di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Komisaris Utama PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) Franciscus Welirang menilai, isu kenaikan harga mi instan hingga tiga kali lipat merupakan hal yang berlebihan.
"Kalau dikatakan bisa naik tiga kali lipat, akal sehat juga mengatakan tidak akan mungkin. Tiga kali itu berlebihan lah," kata pria yang akrab disapa Franky ini kepada Katadata.co.id, Rabu (10/8).
Menurut pria yang juga menjabat sebagai Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) itu, bahan baku mi instan tidak semata-mata hanya mengandung tepung terigu yang berasal dari gandum. Terdapat komponen lain seperti, kemasan, plastik, minyak goreng, lada, garam, cabe, kecap, dan lainnya. Jadi, perhitungan tarif mi instan tidak hanya bergantung pada tepung terigu.
Di Indonesia, terdapat lebih dari 30 merek mi instan. Menurut dia, persaingan yang ketat tersebut seharusnya menahan peningkatan harga mi instan. Tak hanya itu, di Indonesia, komoditas tepung terigu digunakan oleh 28 jenis industri. Jikapun terjadi kenaikan, tak hanya akan berdampak pada mi instan, tetapi juga pada industri pengguna tepung terigu lain.
Pada dasarnya, sambung dia, harga gandum sudah melonjak 68% pada 2021 karena faktor perubahan iklim gagal panen di Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Perang Rusia dan Ukraina hanya menjadi faktor tambahan saja.
Berdasarkan data impor sejak 2004 sampai 2022, Indonesia sudah mengimpor gandum dari 30 negara. Hal ini menyebabkan pelaku industri memiliki pengalaman dalam hal manajemen risiko pemasokan atau supply risk management.
"Pelaku industri tidak menggantungkan diri hanya pada satu negara. bisa dengan mudah berubah sasaran importir," katanya.
Dengan demikian, menurut dia, perang Rusia dan Ukraina tak menjadi faktor utama penghambat impor gandum. Pelaku industri bisa mengimpor dari negara lain.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, saat ini kondisi ekonomi dunia tidak menentu, termasuk pangan. Hal itu juga dirasakan oleh Indonesia, terutama pada komoditas yang diimpor.
Sebanyak 62 negara di dunia terancam mengalami krisis pangan akibat perubahan iklim, Covid-19, dan Perang Rusia-Ukraina. Kondisi tersebut menyebabkan harga bahan pokok menjadi mahal.
Syahrul mengatakan, perang Rusia bahkan menyebabkan 180 juta ton gandum tidak bisa diekspor dari negara tersebut. Kondisi itu akan mempengaruhi industri makanan di Indonesia yang masih ketergantungan pada impor gandum.
"Jadi hati-hati yang makan mie, (bahan bakunya) banyak dari gandum. Besok harganya tiga kali lipat," ujarnya dikutip dari Youtube Kementerian Pertanian, Rabu (10/8).
Dia mengatakan, mahalnya harga gandum tersebut disebabkan distribusinya terhambat. "Ada gandumnya, tapi harganya mahal banget. Sementara kita sekarang impor terus," ujarnya.
Syahrul mengatakan, dirinya sebenarnya tidak setuju jika Indonesia terus mengandalkan impor gandum. Dia lebih memilih untuk mensubtitusi dengan bahan baku lain yang ada di Indonesia seperti singkong, sorgum, dan sagu.
"Kalau saya jelas gak setuju. Apa saja kita makan, singkong, sorgum, sagu. Nah itu lah, tantangan kita gak kecil di Kementan," katanya.
Sebagian produsen makanan dan minuman menaikkan harga jual produknya ke konsumen akibat kenaikan bahan baku impor dan juga pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS. Kenaikan harga jual ini terpaksa dilakukan karena biaya produksi semakin tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor gandum dan meslin Indonesia mencapai 4,36 juta ton dengan nilai US$1,65 miliar sepanjang Januari-Mei 2022. Impor gandum Indonesia terbesar berasal dari Australia, yakni mencapai 1,57 juta ton dengan nilai US$585,6 juta dalam 5 bulan pertama tahun ini. Volume impor gandum Indonesia dari Negeri Kanguru tersebut mencapai 36% dari total impor.