ARB Berjilid, Bagaimana Prospek Saham Garuda Indonesia (GIAA)?
Saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kembali diperdagangkan setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) mencabut suspensi sejak sesi pertama perdagangan Selasa (3/1). BEI mencabut suspensi setelah emiten dengan kode saham GIAA merampungkan restrukturisasi utang.
Setelah GIAA kembali diperdagangkan, harga saham ambles hingga 6,91% menjadi Rp 175 per lembar pada penutupan perdagangan Kamis (5/1). Koreksi harga saham mengulangi perdagangan Rabu (4/1) dengan penurunan 6,93% ke Rp 188 per lembar. Padahal, Selasa kemarin (3/1) saham GIAA sempat mengalami auto reject atas atau ARA tidak lama setelah otoritas bursa mencabut suspensi sahamnya.
Research & Consulting PT Infovesta Utama Nicodimus Anggi menilai, gerak saham GIAA belum menunjukkan uptrend. Adapun polanya masih terlihat downtrend dan hari kembali kena auto rejection bawah atau ARB.
Padahal, Garuda mencatatkan pembukuan kinerja positif pada 2022. Perseroan berhasil menekan utang hingga 50%,. Hingga kuartal tiga 2022 maskapai pelat merah tersebut telah membukukan laba hingga US$ 3,7 miliar
“GIAA memang telah mencetak laba bersih. Namun jika dilihat dari sisi usaha, GIAA masih mencatatkan rugi usaha karena beban usaha yang masih lebih besar dibanding pendapatan usaha,” ujar Nico kepada Katadata.co.id Kamis (5/1).
Nico memperkirakan kinerja GIAA prospektif di masa depan. Para investor dinilai perlu mencermati kebijakan strategis yang dilakukan manajemen Garuda apakah akan semakin bisa menurunkan rugi usaha kedepannya.
“Untuk prospeknya, karena ekonomi sudah semakin dibuka bebas, PPKM sudah tidak berlaku dan kasus Covid sudah melandai kita bisa harapkan permintaan untuk flight travel juga akan meningkat. Apalagi Garuda adalah salah satu airline terfavorit masyarakat untuk traveling ke luar kota maupun luar negeri,” ujar Nico.
Analis Henan Putihrai Sekuritas Jono Syafei pun mengharapkan kinerja GIAA di 2023 dapat membaik. Dia memperkirakan kinerja 2023 akan terus membaik seiring potensi penerbangan makin meluas. Dia juga memperkirakan biaya avtur bakal turun seiring harga minyak mentah yang terus turun, "Maka biaya bahan bakar yang merupakan salah satu pengeluaran terbesar dapat lebih rendah,” ujar Jono.
Selain itu, Jono juga mengatakan bahwa sejumlah aksi korporasi yang dilakukan oleh Garuda Indonesia dapat memperkuat neraca keuangan perseroan.
“Ditambah lagi restrukturisasi utang yang telah dilakukan, suntikan modal negara dan konversi utang diharapkan juga dapat memperkuat neraca keuangan GIAA sehingga kinerja perseroan akan lebih positif ke depannya,” ujar Jono.
Namun, para analis juga menilai ada beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh Garuda Indonesia kedepannya. Yakni persaingan dengan penerbangan domestik lainnya dan potensi resesi global.
“Untuk tantangan sendiri memang persaingan dengan pemain lain di industri penerbangan, potensi resesi global yang dapat melemahkan daya beli dan membatasi turis terutama asing untuk melakukan perjalanan, juga biaya operasional penerbangan yang masih harus ditekan,” kata Jono.