BUMN Fokus Benahi Ekuitas Garuda Indonesia Sebelum Lakukan Aksi Merger
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmadjo mengatakan saat ini pihaknya tengah fokus merampingkan ekuitas negatif PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Hal ini seiring dengan rencana besar merger atau penggabungan usaha tiga maskapai BUMN: Garuda Indonesia, Pelita Air dan Citilink.
Kartika atau akrab disapa Tiko menjelaskan BUMN membenahi ekuitas GIAA. Sebab, jika ekuitas masih negatif akan sulit mendapatkan sewa pesawat atau leasing."Oleh karena itu kami rampingkan dulu dan seberapa cepat kami lakukan negatif ekuitinya berkurang," kata Tiko saat ditemui wartawan di Jakarta, Senin (11/6).
Berdasarkan laporan keuangan per September 2023, Garuda Indonesia mencatatkan negatif ekuitas US$ 1,61 miliar, naik 4,92% dari tahun sebelumnya US$ 1,53 miliar.
Emiten bersandi GIAA ini juga mencatatkan kerugian yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk US$ 75,85 juta, setara Rp 1,15 triliun hingga September 2023. Emiten aviasi pelat merah ini sebelumnya mencatatkan laba senilai Rp 3,7 triliun per September 2022. Rangkuman kinerja Garuda tercantum dalam dalam databoks berikut:
Mengenai kabar terbaru merger, Tiko menyebut, saat ini BUMN masih mengkaji beberapa opsi aksi korporasi tersebut. Adapun opsinya, Pelita Air masuk secara lisensi ke Citilink, atau Pelita Air ke InJourney.
"Jadi belum ada keputusan mau ke InJourney atau Citilink tapi tergantung dari kemampuan Garuda Indonesia untuk restrukturisasi kami akan tinjau hingga akhir tahun," kata Tiko.
Sebelumnya Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan Garuda tetap akan berdiri sebagai entitas tersendiri, yang dimerger hanya Citilink dengan Pelita Air.
"Garuda tetap sendiri. Citilink dan Pelita (merger) karena Garuda kan sudah bagus, Citilink dan Pelita kita lebur," ucap Menteri BUMN Erick Thohir, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis kemarin (31/8).
Dalam pertimbangannya, Erick menjelaskan penggabungan usaha maskapai BUMN karena Indonesia masih tertinggal dari sisi jumlah pesawat. Sebagai perbandingan, Amerika memiliki sekitar 7.200 pesawat dengan 300 juta penduduk dengan rata-rata pendapatan perkapita mencapai US$ 40 ribu. Sementara, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 280 juta dengan pendapatan per kapita US$ 4.700 dan ditaksir akan tembus US$ 5.000.