Kinerja Keuangan Garuda Indonesia (GIAA) Tertekan Beban Operasional Rp 12,81 T
PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mencatatkan sejumlah beban yang menyebabkan perusahaan aviasi pelat merah ini masih mencatatkan kerugian. Beban operasional penerbangan menjadi salah satu biang kerok tertekannya kinerja GIAA.
Mengutip laporan keuangan, beban operasional penerbangan per semester satu 2024 yakni US$ 839,12 juta, setara Rp 12,81 triliun. Angka ini meningkat 15,02% dari periode yang sama tahun sebelumnya US$ 729,49 juta.
Secara rinci, bahan bakar menjadi paling banyak menyuplai di pos beban operasional penerbangan sebesar US$ 535,51 juta, meningkat dari sebelum US$ 439,2 miliar. Lalu ada beban penyusutan US$ 168,86 miliar darri US$ 163,04 miliar.
Lalu ada pos beban pemeliharaan dan perbaikan senilai US$ 257,57 juta naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya US$ 159,49 juta. Beban umum dan administrasi GIAA juga meningkat hingga semester I 2024 menjadi US$ 123,05 juta dari sebelum US$ 97,15 juta.
Selanjutnya Garuda Indonesia membukukan beban tiket, penjualan dan promosi US$ 84,1 juta dari US$ 72,3 juta dan beban pelayanan penumpang US$ 107,16 juta. Sementara untuk beban keuangan sebesar US$ 246,45 juta dari US$ 222,77 juta.
Beban ini menjadi salah satu efek kerugian yang dialami Garuda Indonesia. Dalam laporan keuangan perusahaan, GIAA masih mencatatkan kerugian yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk US$ 106,93 juta, setara Rp 1,55 triliun per semester satu 2024, bengkak 32,8% dari periode yang sama tahun sebelumnya US$ 76,5 juta.
Daftar Utang Garuda Indonesia ke Bank
Selain beban, kinerja Garuda Indonesia juga dibayangi beberapa utang bank dari utang jangka pendek maupun jangka panjang. Utang jangka panjang GIAA senilai US$ 661,62 atau Rp 10,1 triliun. Di sisi lain, utang jangka pendek Garuda Indonesia US$ 958,4 ribu atau Rp 14,63 miliar. Secara rinci pinjaman jangka pendek GIAA berasal dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) sebesar US$ 958,4 ribu.
Untuk pos pinjaman jangka panjang Garuda Indonesia berasal dari Bank Panin US$ 25,84 juta dan Bank Permata senilai US$ 11,95 juta. Lalu pinjaman jangka panjang dari Bank of China Co. Ltd senilai US$ 3,93 juta dan Bank of China Limited yakni US$ 3,61 juta.
Lalu terdapat pinjaman jangka panjang dari pihak ketiga yaitu Bank Maybank Indonesia US$ 35 juta, Bank CTBC Indonesia US$ 15,34 juta, Bank KEB Hana US$ 6,3 juta, hingga Bank Central Asia atau BCA senilai US$ 890,79 juta.