Peran Public Relations: Mengatasi Tantangan Komunikasi di Era Global
Public Relations (PR) berperan penting dalam menjembatani dan mengatasi kesenjangan komunikasi di era global yang semakin kompleks.
Editor-in-Chief of the Journal of Communication Management, Lund University, Sweden, Jesper Falkheimer, mengatakan kompleksitas masyarakat dan lingkungan sekitar menghadirkan berbagai tantangan, terutama tantangan di lingkungan kerja dan bermasyarakat. Ia menyebut seorang public relations dapat mempertimbangkan paradigma baru dalam komunikasi yang telah mengalami perubahan signifikan.
Pendekatan yang sebelumnya berfokus pada komunikasi vertikal dari manajemen ke rekan kerja atau dari pusat organisasi ke pemangku kepentingan, pelanggan, dan masyarakat kini bergeser menuju perhatian yang lebih besar pada proses komunikasi horizontal.
“Saya benar-benar percaya bahwa komunikasi merupakan salah satu kekuatan perubahan dan transformasi yang paling penting dalam masyarakat kita,” kata Falkheimer dalam World Public Relations Forum (WPRF) bertajuk “On the World Stage: Purposeful Influence for the Common Good” di Nusa Dua, Bali, Selasa (19/11).
Ia mengatakan, tantangan menarik saat ini yaitu bagaimana komunikasi dapat mendorong kolaborasi antarindividu, unit, dan institusi yang berada pada tingkat yang sama. Dahulu, kata Falkheimer, alat komunikasi dikuasai oleh profesional seperti praktisi hubungan masyarakat, jurnalis, pemasar, dan pengiklanan.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, setiap individu telah menjadi komunikator, dengan beberapa di antaranya mampu berkomunikasi secara efektif meskipun tanpa latar belakang profesional.
Pendekatan komunikasi juga telah bergeser dari fokus tradisional pada penyampaian informasi secara rasional menuju perhatian yang lebih besar pada aspek etika, legitimasi, dan komunikasi moral. Selain itu, dunia saat ini semakin lintas batas, menciptakan tantangan dan peluang baru dalam praktik komunikasi global.
Ia mempertanyakan, isu-isu moral kini menjadi inti dalam dunia komunikasi dan hubungan masyarakat, membawa pertanyaan penting: apakah komunikasi digunakan untuk dominasi atau kolaborasi?
“Batas antara komunikasi internal dan eksternal agak kabur. Dan batas antara orang-orang sebagai warga negara dan lainnya juga sedikit kabur. Jadi kita hidup dalam masyarakat yang lebih terfragmentasi,” ujarnya.
Kesenjangan Digital dalam Masyarakat Pedesaan
Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) menyoroti bahwa masyarakat pedesaan memiliki dinamika sosial serta norma budaya yang khas, yang perlu dihormati dan diintegrasikan dalam strategi komunikasi.
Di samping itu, Vice-Chair of Indonesia Public Relations Association (Perhumas), Indonesia, Dorien Kartikawangi, mengatakan transformasi digital di pedesaan justru berlangsung secara tidak merata, sehingga diperlukan pendekatan khusus yang mempertimbangkan akses teknologi, tingkat literasi, dan kondisi sosial ekonomi.
Keberagaman masyarakat pedesaan menuntut praktik komunikasi terhadap budaya, yang mampu membangun rasa percaya dan inklusivitas. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan akses terhadap internet yang stabil dan alat digital, yang dapat memperbesar kesenjangan.
Oleh karena itu, Dorien mengatakan upaya untuk mengurangi kesenjangan digital menjadi kunci keberhasilan melalui komunikasi yang efektif. Ia menilai pendekatan pertumbuhan, difusi, dan inovasi dapat digunakan untuk menganalisis strategi komunikasi dan penerapannya di masyarakat pedesaan.
“Kedengarannya memang sudah tua, namun jika kita melihat faktanya, kita membutuhkan teori ini untuk memandu inovasi dan mengembangkan inovasi,” katanya.
Lebih lanjut, Dorien menekankan pentingnya mempromosikan literasi digital, transparansi, akuntabilitas, serta keterlibatan dan kolaborasi bersama dalam komunikasi. Ia menyebut perlu pendekatan komunikasi dua arah yang melibatkan dialog aktif, pemahaman perbedaan budaya, dan penghormatan terhadap keberagaman.
Terutama sikap merendahkan terhadap masyarakat pedesaan, seperti pandangan bahwa mereka hanya membutuhkan bantuan, hal itu justru dapat memicu penolakan. Sebagai contoh, ketika perusahaan multinasional menjalankan CSR di pedesaan tanpa pendekatan yang sensitif, masyarakat setempat bisa merasa tidak dihargai dan menolak orang yang datang desa tersebut.
Tak hanya itu, ia menilai seorang public relations perlu menghormati dan memahami pertanian serta kehidupan masyarakat pedesaan. Komunikasi yang berbasis kolaborasi memungkinkan terciptanya co-creation, di mana masyarakat diposisikan sebagai mitra aktif, bukan penerima pasif, sehingga mereka merasa difasilitasi, bukan dibantu secara sepihak.
Ia juga menekankan perlunya organisasi memiliki profesional humas dengan kemampuan lintas budaya yang mumpuni untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakat yang memiliki latar budaya berbeda, terutama bagi perusahaan multinasional. Selain itu, kemampuan memahami budaya digital di samping budaya lokal juga menjadi aset penting dalam era modern.
Selain itu, ia mengatakan para pemangku kepentingan harus melihat komunikasi sebagai alat transformatif dan berinvestasi dalam strategi yang mendukung kesejahteraan masyarakat pedesaan agar tidak ada yang tertinggal dalam era digitalisasi. Dorien menilai humas memiliki kekuatan dalam memengaruhi persepsi, mendorong tindakan, dan membangun kepercayaan.
Selaras dengan WPRF 2024, ia menggarisbawahi peran humas dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya dalam ketahanan dan keberlanjutan masyarakat pedesaan.
“Dengan berkomitmen untuk kebaikan bersama, para profesional dan akademisi humas dapat mendorong perubahan transformatif untuk generasi mendatang,” pungkasnya.
World Public Relations Forum (WPRF) 2024 merupakan forum pertemuan internasional yang merayakan keberagaman dan dinamika profesi humas. Forum ini menekankan pentingnya komunikasi untuk membangun dan menjaga kepercayaan antara organisasi dan publik, sembari membuka peluang untuk berbagi perspektif secara global.
Acara ini menghadirkan total 37 pembicara internasional dan 41 pembicara nasional dalam rangkaian acara yang akan berlangsung selama empat hari. Forum ini juga diikuti oleh perwakilan dari 22 negara, termasuk Australia, Bangladesh, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Arab Saudi, Nigeria, dan Afrika Selatan.
Acara ini diselenggarakan oleh Global Alliance for Public Relations and Communications Management dan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), serta bekerja sama dengan Katadata Indonesia. Ini merupakan pertama kalinya Indonesia menjadi tuan rumah acara humas berskala internasional.