Benarkah Danantara Sebabkan IHSG Rontok ke Rp 6.200? Begini Penjelasan Bos Bursa

Nur Hana Putri Nabila
28 Februari 2025, 15:43
Kantor Daya Anagata Nusantara atau Danantara dengan logo baru, Senin (24/2)
Katadata / Patricia Yasinta Abigail
Kantor Daya Anagata Nusantara atau Danantara dengan logo baru, Senin (24/2)
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG rontok dalam dua pekan terakhir. Bursa Efek Indonesia (BEI)  mencatat IHSG telah longsor 4,67% pada rentang 21 Februari hingga 27 Februari 2025 secara week on week. 

Pada perdagangan hari ini, Jumat (28/2), IHSG bahkan merosot hingga menyentuh level 6.256 jelang penutupan pasar. Apabila melihat tren pergerakannya, IHSG telah anjlok sebesar 11,01% secara year to date (ytd), dan terperosok 11,38% dalam sebulan terakhir. 

Merujuk data perdagangan di BEI dalam sepekan terakhir aksi jual saham atau net sell investor asing di bursa saham masih tinggi. Secara keseluruhan dalam sepekan, investor asing tercatat melakukan net sell hingga Rp 6,88 Triliun. Bila ditarik rentang yang lebih panjang, sejak awal tahun net sell asing di bursa efek Indonesia sudah mencapai Rp 16,78 triliun. 

Gerak lesu IHSG selama beberapa hari terakhir salah satunya dipicu oleh penurunan rating pasar saham Indonesia oleh Morgan Stanley Capital International atau MSCI dari equal weight menjadi underweight. Dalam pengumuman terbaru yang dirilis sejak 19 Februari itu, MSCI menjelaskan terjadi pergeseran tren return on equity (ROE) Indonesia yang tertekan akibat ekonomi domestik melemah. 

Di tengah turunnya rating saham Indonesia tersebut, investor berharap adanya sinyal positif dari peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (24/2). Setelah diluncurkan badan investasi tersebut akan mengelola sekitar US$ 900 miliar atau sekitar Rp 14.616 triliun aset dalam pengelolaan (AUM).

Sayangnya, kehadiran Danantara tak cukup kuat menarik kepercayaan investor di pasar saham Indonesia. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai terdapat pesimisme dari pelaku pasar terhadap masa depan lembaga baru yang akan menjadi super holding Badan Usaha Milik Negara itu. “Ada kekhawatiran dan skeptisme investor terhadap prospek Danantara,” ujar Budi Frensidy kepada Katadata.co.id, Kamis (27/2).

Benarkah Danantara Menjadi Penyebab IHSG Gagal Bangkit? 

Menanggapi kekhawatiran pasar ini, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman, mengatakan penurunan IHSG tak ada kaitannya dengan Danantara. Ia bahkan mengatakan, Danantara diharapkan dapat menjadi alternatif pendanaan bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di luar skema penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO). 

Selain itu, Iman juga menyebut Danantara berpotensi memperluas kapitalisasi pasar dan meningkatkan peran perusahaan BUMN dalam pasar modal Indonesia. Dengan begitu, menurut Iman seharusnya kehadiran Danantara tidak memberikan sentimen negatif pada bursa.  

“Kami ingin lihat bahwa perusahaan di bawah Danantara ingin menjadi pemimpin di industrinya. Peningkatan pendapatan yang kami harapkan, maka akan meningkatkan market cap, ini yang mungkin jadi menarik,” kata Iman kepada wartawan di Gedung BEI di Jakarta, Jumat (28/2).

Lebih lanjut, Iman mengatakan Danantara memiliki dua peran utama, yakni sebagai pengelola investasi melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) dan dalam operasional perusahaan yang tergabung di dalamnya. Iman menjelaskan, per Desember 2024, sebanyak 12 BUMN beserta anak usahanya yang berada di bawah Danantara memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp 1.893 triliun atau sekitar 15% dari total kapitalisasi pasar BEI.

“Per Februari 2025, angkanya sedikit turun menjadi sekitar Rp 1.700 triliun seiring dinamika pasar," ungkap Iman. 

Apabila melihat dari sisi nilai transaksi, BUMN dan anak perusahaannya juga memberikan kontribusi signifikan. Demikian pula dari sisi perdagangan, Iman menyebut sebanyak 27% dari total nilai transaksi di BEI berasal dari perusahaan-perusahaan BUMN dan anak usahanya.

Bagaimana Dampak Danantara ke Pasar Modal?

Terkait dampak ke pasar modal, Iman menilai kehadiran Danantara dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan BUMN, selaras dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Ia mencontohkan, BUMN yang telah melantai di BEI umumnya harga sahamnya melonjak sejak IPO. 

Secara historis, Iman mengatakan saham BBRI tercatat naik lebih dari 4.700%, Bank Mandiri meningkat 3.300%, dan Telkom bertumbuh 1.326% sejak IPO. Iman menyebut hal ini menunjukkan bahwa perusahaan BUMN yang go public cenderung berkembang lebih pesat berkat kenaikan transparansi dan akuntabilitas. 

Lebih lanjut, Iman menekankan perusahaan yang tercatat di bursa tidak hanya memperoleh pendanaan melalui IPO, tetapi juga memiliki akses ke berbagai instrumen pasar modal lainnya, seperti rights issue dan penerbitan obligasi.  Secara keseluruhan, Iman menyebut BUMN telah menghimpun dana sekitar Rp 160 triliun di pasar modal melalui berbagai skema pendanaan. 

“Ini menunjukkan bahwa perusahaan BUMN semakin familiar dengan mekanisme pasar modal untuk mendukung ekspansi bisnis mereka," ujarnya.

Iman menyatakan bahwa salah satu tujuan utama Danantara adalah meningkatkan daya saing BUMN Indonesia di tingkat global, mengadopsi model yang digunakan oleh Temasek dan GIC di Singapura. Ia berharap perusahaan-perusahaan BUMN yang tergabung dalam Danantara dapat menjadi pemimpin industri, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di tingkat regional, khususnya di Asia.

“Misalnya, Bank Himbara, dan Telkom Indonesia bisa semakin bersaing dengan institusi keuangan dan telekomunikasi di tingkat regional," kata Iman.

Menurut Iman, secara global sebanyak 58% dana yang dikelola oleh Sovereign Wealth Fund (SWF) dialokasikan ke ekuitas atau pasar saham. Iman menegaskan BEI akan terus berkoordinasi dengan Danantara serta pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan BUMN di dalamnya dapat memanfaatkan pasar modal secara optimal untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang.

"Namun, diperlukan waktu untuk membangun kepercayaan pasar dan membuktikan efektivitas model bisnisnya," ucap Iman.

Tiga Faktor Penyebab IHSG Longsor 

Menanggapi tren pelemahan IHSG dalam beberapa hari terakhir, Iman menjelaskan ada tiga faktor utama yang memengaruhi. Ia menyebut faktor itu berkaitan dengan dinamika pasar global, kondisi domestik, dan faktor korporasi.  

Iman menjelaskan, salah satu pemicu utama tekanan pada IHSG adalah ketidakpastian ekonomi global, terutama terkait dengan kebijakan pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Iman menjelaskan bahwa kebijakan perang tarif yang kembali digencarkan Trump mendorong investor global, termasuk dari Indonesia, untuk lebih memilih menanamkan modalnya di pasar AS.

Selain itu, sekitar 70% standar investasi global saat ini mengarah ke AS, membuat aliran dana ke pasar Indonesia semakin terbatas. Ditambah lagi, ancaman tarif yang diberlakukan AS terhadap beberapa negara, seperti Meksiko, Kanada, dan Uni Emirat Arab (UEA), semakin memperkuat daya tarik pasar AS bagi investor asing. Mulai hari ini, pemerintahan Trump telah menerapkan tarif 25% untuk perdagangan dengan Meksiko dan Kanada.

Di samping itu, peluang pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) yang semakin kecil juga turut menekan pasar. Diperkirakan The Fed hanya akan menurunkan suku bunga sekali dalam tahun ini. Faktor lain dari sisi global adalah pemangkasan suku bunga oleh Bank of Korea (BoK) serta penurunan indeks keyakinan konsumen di AS, yang semakin memperburuk tekanan terhadap IHSG.

Selain faktor eksternal, kondisi domestik juga turut berperan dalam melemahnya IHSG. Salah satu pemicu utamanya adalah penurunan peringkat pasar modal Indonesia oleh Morgan Stanley, yang berdampak langsung pada arus investasi asing. Mengingat sekitar 40% saham di Indonesia dimiliki oleh investor asing, keputusan ini semakin memperparah tekanan di pasar.

Iman menjelaskan bahwa di tengah pelemahan pasar, sekitar 60% investor di Indonesia adalah domestik, dengan 40% di antaranya merupakan investor ritel. Namun, berbeda dengan kondisi beberapa tahun lalu ketika investor domestik lebih dominan, kini tekanan terhadap pasar domestik justru membuat banyak investor ritel memilih keluar dari pasar saham. Akibatnya, gairah investasi di dalam negeri semakin menurun.

Faktor ketiga yang turut membebani IHSG adalah laporan keuangan emiten yang terdampak perlambatan ekonomi domestik. Iman menuturkan bahwa meskipun beberapa perusahaan masih mencatatkan kinerja keuangan yang positif, secara keseluruhan terjadi penurunan konsensus akibat koreksi data ekonomi dalam negeri.

Penurunan ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap pasar saham tidak hanya datang dari faktor eksternal, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi domestik yang belum sepenuhnya pulih.

"Walaupun ada peningkatan dari beberapa emiten, tetapi secara umum terdapat koreksi pada konsensus ekonomi, dan ini semakin memperparah situasi pasar," ujar Iman.



Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nur Hana Putri Nabila

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan