Ramai Tudingan Penyebab Bencana Sumatra, Siapa Pemilik Toba Pulp Lestari (INRU)?
Emiten produsen bubur kertas yang berbasis di Sumatra Utara PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) tengah menjadi pembicaraan publil. Perusahaan dituding melakukan deforestasi yang mengakibatkan kerusakan ekologis di sejumlah wilayah Sumatra.
Operasional perseroan juga tengah terancam dihentikan setelah Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution merekomendasikan penutupan akibat konflik agraria yang berkepanjangan dengan masyarakat adat di Buntu Panaturan, Desa Sihaporas.
Manajemen INRU telah membantah tudingan yang menyebut perusahaan melakukan deforestasi dan menjadi penyebab dari bencana ekologi yang melanda wilayah Sumatera. Direktur Toba Pulp Lestari Anwar Lawden menjelaskan bahwa seluruh kegiatan HTI telah melewati penilaian High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS) oleh lembaga independen untuk memastikan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan.
Menurut dia, hanya sekitar 46.000 hektare yang ditanami eucalyptus dari total area 167.912 hektare. Sedangkan sisanya, dipertahankan sebagai zona lindung dan konservasi. Selama lebih dari 30 tahun beroperasi, perusahaan juga tetap menjaga komunikasi terbuka melalui dialog, sosialisasi, dan berbagai program kemitraan dengan pemerintah, masyarakat adat, tokoh masyarakat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
“Perseroan tetap membuka ruang dialog konstruktif untuk memastikan keberlanjutan yang adil dan bertanggung jawab di areal perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH),” kata Anwar dalam keterbukaan informasi BEI, Selasa (2/12).
Profil Toba Pulp Lestari (INRU)
Merujuk laman resminya, Toba Pulp Lestari bergerak di bidang produksi bubur kertas, bahan kimia dasar, produk kayu serta pengelolaan konsesi hutan tanaman industri. Saat ini, 92,54% saham perusahaan dikuasai oleh Allied Hill Limited, perusahaan berbasis di Hong Kong. Allied juga tercatat menjadi pengendali perseroan.
Dalam laporan keuangan perseroan disebutkan, pada 5 Juni 2025 Allied Hill Limited mengambil alih seluruh saham Pinnacle Company Pte. Ltd, yang sebelumnya menjadi pengendali perseroan, melalui transaksi pasar negosiasi di Bursa Efek Indonesia. Harga pembelian ditetapkan sebesar Rp 433 per lembar saham.
Allied Hill Limited dimiliki sepenuhnya oleh Everpro Investments Limited. Kontrol atas Everpro Investments Limited berada di tangan Joseph Oetomo yang merupakan warga negara Singapura, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun Toba Pulp Lestari memiliki riwayat panjang sebagai perusahaan kontroversial. Entitas ini sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama Tbk, perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto. Berdiri pada 1983 dan melantai di Bursa Efek Indonesia pada 1990, perusahaan mulai menghadapi penolakan sejak pabrik berdiri di kawasan Sungai Asahan, Sumatra Utara.
Pada 2007, Pinnacle Company Pte. Ltd. mengakuisisi mayoritas saham. Namun menjelang akhir 2025 kepemilikan berpindah ke Allied Hill Limited yang masih terafiliasi dengan grup bisnis Sukanto Tanoto, RGE Group.
Sejak berdirinya pabrik pada 1980-an, Indorayon kerap dituding merusak lingkungan, mulai dari pencemaran tanah dan air Sungai Asahan hingga deforestasi dalam skala besar. Perusahaan juga dituduh mengambil tanah masyarakat secara tidak adil. Isu kesehatan, seperti penyakit kulit yang dialami warga, turut menjadi bagian dari keluhan masyarakat.
Konflik memuncak pada 1999, ketika bentrokan antara warga, aparat dan pihak perusahaan menewaskan enam orang dan melukai ratusan lainnya. Presiden BJ Habibie kemudian memerintahkan penghentian sementara operasi pada 19 Maret 1999. Pemerintahan Abdurrahman Wahid mendukung penutupan tersebut dan meminta perusahaan menghentikan produksi rayon.
Pada 2000 pemerintah kembali mengizinkan perusahaan beroperasi, dengan syarat menghentikan produksi rayon. Keputusan ini memicu gelombang protes baru, salah satunya berujung pada penembakan seorang mahasiswa oleh polisi pada Juni 2000.
Pada akhir 2000, perusahaan menghentikan operasi, mengubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, dan merestrukturisasi utangnya hingga US$ 400 juta. Saham INRU bahkan sempat dihapuskan dari Bursa Efek Jakarta pada 2002 karena dianggap tidak mampu melanjutkan operasional.
Pada Maret 2003, Toba Pulp kembali beroperasi dengan klaim menerapkan teknologi ramah lingkungan. Namun berbagai tuduhan mengenai pencemaran, perebutan lahan ulayat, deforestasi hingga praktik pengelolaan pajak masih terus muncul hingga kini.
Hingga saat ini, konflik antara masyarakat adat dan Toba Pulp Lestari belum menunjukkan tanda mereda. Warga menilai perusahaan telah mengambil ruang hidup masyarakat adat, menimbulkan kerusakan lingkungan dan menggunakan intimidasi terhadap warga yang menolak keberadaan perusahaan.
Menanggapi polemik yang meningkat, terlebih setelah peristiwa banjir yang menerpa wilayah Sumatra, perusahaan dituding sebagai musabab terjadinya bencana. Direktur Toba Pulp Lestari Anwar Lawden membantah tudingan kalau perusahaan menjadi penyebab bencana ekologis. Ia menyebut seluruh kegiatan hutan tanaman industri perusahaan telah melalui penilaian High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS) oleh lembaga independen.
Menurut Anwar, dari total area izin seluas 167.912 hektare, hanya sekitar 46.000 hektare yang ditanami eucalyptus. Sisanya diklaim sebagai kawasan lindung dan konservasi. Ia menambahkan bahwa perusahaan telah menjaga komunikasi dengan masyarakat melalui dialog, sosialisasi, serta program kemitraan bersama pemerintah dan organisasi masyarakat sipil selama lebih dari 30 tahun beroperasi.
“Perseroan tetap membuka ruang dialog konstruktif untuk memastikan keberlanjutan yang adil dan bertanggung jawab di areal perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH),” ujar Anwar dalam keterbukaan informasi BEI, Selasa (2/12).
