Survei HSBC: Ketidakpastian Tarif AS, ASEAN Jadi Tujuan Utama Ekspor Pebisnis RI
Mayoritas pelaku bisnis Indonesia menjadikan kawasan ASEAN sebagai fokus utama ekspor di tengah ketidakpastian tarif dan geopolitik. Ekspor terutama ditingkatkan ke Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Hal ini terungkap dalam Survei HSBC Global Trade Pulse yang digelar terhadap 6,750 perusahaan pada 6 - 21 Oktober 2025 di 17 pasar yang menjadi basis grup perbbankan dan jasa keuangan ini. Survei dilakukan di Bangladesh, Brasil, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Malaysia, Meksiko, Singapura, Spanyol, UEA, Vietnam, Hong Kong, Tiongkok daratan, Inggris, Amerika Serikat.
Sebanyak 683 bisnis yang disurvei memiliki omset global lebih dari $2 miliar dalam 12 bulan terakhir, dan sisanya menghasilkan antara US$50 juta US$2 miliar.
Dalam survei tersebut, 92% pebisnis Indonesia percaya diri dan berencana melakukan ekspansi internasional dalam dua tahun mendatang. Adapun sebanyak 58% perusahaan Indonesia menempatkan ASEAN sebagai prioritas, dan 54% aktif memperluas rantai pasok di kawasan tersebut.
Survei juga menunjukkan, Indonesia menjadi salah satu negara yang berpotensi diuntungkan. Sekitar 69% perusahaan meyakini bahwa perang dagang berdampak positif dalam dua tahun mendatang, lebih tinggi dari keyakinan global sebesar 57%.
Temuan ini senada dengan tren perusahaan di Asia yang menunjukkan tanda-tanda adaptasi dan stabilisasi, lebih dari enam bulan setelah pengumuman liberation day tariffs. Pengumuman yang dilakukan Presiden AS Donald Trump ini menandai dimulainya gelombang tarif yang lebih luas dan komprehensif pada masa pemerintahan keduanya.
Adapun temuan penting survei HSBC, yakni kekhawatiran perusahaan atas dampak perang dagang terhadap pendapatan mereda, dan peta perdagangan baru mulai terbentuk. Seiring meredanya ketidakpastian tarif, perusahaan Asia memperkirakan dampak gangguan rantai pasok terhadap pendapatan menurun dibandingkan enam bulan lalu.
Perusahaan Asia memproyeksikan dampak disrupsi rantai pasok terhadap pendapatan turun menjadi 13%, dari posisi 18% pada survei HSBC Global Trade Pulse di enam bulan sebelumnya.
“Data kami menunjukkan bahwa perusahaan di Asia mulai beradaptasi dengan kondisi baru. Kekhawatiran sedikit mereda, tetapi perusahaan tetap waspada terhadap berbagai risiko,” ujar Aditya Gahlaut, Regional Head of Global Trade Solutions Asia HSBC dalam siaran pers dikutip Kamis (11/12)
Lima Pasar Utama
Asia Tenggara menjadi kawasan kunci bagi perusahaan Asia maupun global. Seiring meredanya ketidakpastian tarif, peta perdagangan baru mulai terbentuk.
Sebanyak 41% perusahaan Asia fokus memperkuat hubungan dagang di ASEAN, disusul 34% di Asia Timur dan Utara, dan 29% di Asia Selatan.
Senada, perusahaan Indonesia lebih mengutamakan pasar ASEAN, disusul 36% di Asia Timur dan Utara, 29% di Asia Selatan, 27% di Eropa dan 27% di kawasan Oseania/Pasifik.
Fokus dagang perusahaan Indonesia didominasi oleh sektor transportasi & industri yakni 61% berencana memperkuat hubungan dagang.
Survei juga mengungkap, perusahaan Indonesia fokus meningkatkan penjualan ke lima pasar utama yakni Singapura (42%), Malaysia (32%), Jepang (27%), Australia (24%) dan Thailand (22%).
Fokus ekspansi ini tercermin dari 67% perusahaan Indonesia meyakini mampu meraih pertumbuhan pendapatan dalam dua tahun mendatang, lebih tinggi dari keyakinan global sebesar 58%. Kemampuan likuiditas menjadi perhatian serius korporasi Indonesia, seiring dengan rencana ekspansi ke ASEAN.
Sebesar 72% perusahaan Indonesia melaporkan peningkatan kebutuhan modal kerja sebagai akibat dari ketidakpastian perdagangan dan tarif, lebih tinggi dibandingkan rata-rata perusahaan global sebesar 62%.
“Peran perbankan internasional menjadi semakin krusial seiring rencana ekspansi ke pasar ASEAN dan meningkatnya kompleksitas dagang lintas negara.
"Perusahaan Indonesia membutuhkan dukungan likuiditas dan manajemen risiko untuk tetap bisa tumbuh dalam ketidakpastian,” ujar Delia Melissa, Country Head Global Trade Solutions HSBC Indonesia.
