BI Suntik Lagi Likuiditas ke Perbankan Rp 117 T Lewat Penurunan GWM

Agatha Olivia Victoria
14 April 2020, 17:40
bank indonesia, likuiditas perbankan, giro wajib minimum, pandemi corona,
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi. Total likuiditas yang telah disuntikkan Bank Indonesia ke perbankan untuk meredam dampak pandemi corona akan mencapai Rp 420 triliun.

Bank Indonesia kembali menurunkan giro wajib minimum dan membebaskan kewajiban tambahan giro terkait pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial atau RIM perbankan. Dengan kebijakan baru tersebut, likuiditas perbankan akan bertambah sekitar Rp 117 triliun.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, pihaknya kembali menurunkan GWM rupiah sebesar 200 basis poin untuk bank umum konvensional, serta 50 bps untuk bank syariah. BI juga tak memberlakukan kewajiban tambahan giro untuk pemenuhan RIM kepada seluruh bank untuk periode 1 tahun. Kedua kebijakan ini berlaku mulai 1 Mei 2020.

"Dari penurunan GWM maupun tidak melakukan kewajiban tambahan RIM akan kembali menambah injeksi likuiditas sekitar Rp 117,8 triliun," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi video di Jakarta, Selasa (14/4).

Tambahan likuiditas tersebut terdiri atas Rp 102 triliun yang berasal dari penurunan GWM dan Rp 15,8 triliun dari pembebasan ketentuan RIM.

Adapun Perry menjelaskan BI sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan untuk menginjeksi likuiditas perbankan mencapai Rp 300 triliun. Kebijakan tersebut yakni pembelian Surat Berharga Negara atau SBN dari pasar sekunder sebesar Rp166 triliun, penyediaan likuiditas kepada perbankan lebih dari Rp 56 triliun melalui mekanisme term-repo dengan underlying SBN.

(Baca: Rupiah Melemah Tipis Rp 15.645 Per dolar AS usai BI Tahan Bunga Acuan)

Lalu, penurunan kembali GWM rupiah dan valas pada awal April, melanjutkan penurunan pada 2018 dan awal 2020.  Total injeksi likuiditas dari penurunan GWM hingga kini ditaksir mencapai Rp 78 triliun dan US$ 3,2 miliar. 

Dengan tambahan pelonggaran GWM yang berlaku awal Mei tersebut, total likuiditas yang disuntik BI ke sistem keuangan akan mencapai Rp 420 triliun.

Di sisi lain, BI juga memperluas cakupan ekspansi operasi moneter dengan menyediakan term repo tak hanya bagi perbankan, tetapi juga korporasi. Perbankan dan korporasi dapat mengajukan pinjaman menggunakanunderlying transaksi berupa Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan tenor hingga 1 tahun.

(Baca: Jaga Rupiah di Tengah Gejolak Corona, BI Tahan Bunga Acuan 4,5%)

Sementara untuk memperkuat manajemen likuiditas perbankan serta terkait penurunan GWM rupiah tersebut, BI turut menaikkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah. Kebijakan ini mulai berlaku 1 Mei 2020. Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana.

Dengan demikian, Perry menilai, seluruh rasio PLM dapat langsung direpokan ke BI. "Pada saat yang sama juga akan menambah pembiayaan defisit fiskal oleh pemerintah," ujarnya.

Respons kebijakan ini, kata Perry diharapkan mampu menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan tetap memadai di tengah gejolak pandemi corona. Saat ini, kondisi likuiditas perbankan masih memadai tercermin dari rerata harian volume PUAB Maret 2020 sebesar Rp 12,8 triliun serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 22,81% pada Februari 2020.

Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...