Rupiah Melemah ke 14.022 per Dolar AS Tertekan Data Non Manufaktur AS
Nilai tukar rupiah pada perdagangan sore hari ini, Rabu (6/11) melemah 0,38% ke level Rp 14.022 per dolar Amerika Serikat. Rupiah melemah seiring indeks dolar AS yang menguat seiring data kinerja non manufaktur AS yang membaik.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR), rupiah berada pada posisi penguatan. Rupiah berada pada level Rp 13.992 per dolar AS atau naik 39 poin dibanding posisi kemarin di level Rp 14.031 per dolar AS.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim menilai, rupiah melemah akibat data eksternal yang mendukung indeks dolar AS. "Sentimen eksternal datang dari sebuah survei pada sektor layanan AS yang menunjukkan bahwa sentimen bisnis telah meningkat pada Oktober, dari level terendah tiga tahun pada September," kata Ibrahim di Jakarta, Rabu (6/11).
Berdasarkan survei tersebut, indeks sektor non manufaktur yang dirilis Institute for Supply Management pada Selasa (5/11) naik menjadi 54,7 dari 52,6 pada September, mengalahkan ekspektasi pasar. Data datang setelah laporan ketenagakerjaan AS yang kuat pada hari Jumat (1/11).
Selain itu, menurut Ibrahim, perkembangan hubungan AS-Tiongkok masih memberikan sentimen terhadap pasar. Adapun kedua negara saat ini hampir menuju kesepakatan damai dagang fase satu. Pasar pun menantikan kepastian kapan perjanjian damai dagang ini akan diteken.
(Baca: Sri Mulyani : Rupiah Stabil dan Berpotensi Menguat Hingga Akhir Tahun)
Mengutip Financial Times, salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah AS akan menghapus rencana pengenaan bea masuk untuk importasi produk Tiongkok senilai US$ 156 miliar yang sedianya berlaku 15 Desember. Produk-produk yang rencananya kena bea masuk adalah telepon seluler, laptop, sampai mainan anak-anak.
Di sisi lain, seperti diberitakan Reuters, Tiongkok meminta AS untuk menghapus lebih banyak lagi bea masuk. Tiongkok mendorong agar AS menghapus bea masuk 15% bagi impor produk mereka senilai US$ 125 miliar yang berlaku September lalu.
Sentimen eksternal penguat dolar AS datang dari perekonomian Hong Kong yang semakin terpuruk. Akibat demonstrasi yang berkepanjangan, ekonomi kuartal III 2019 Hong Kong mengalami kontraksi sebesar 3,2% secara kuartal. "Dengan kontraksi tersebut, ekonomi Hong Kong masuk dalam fase resesi," kata Ibrahim.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung dua kurtal atau lebih berturut-turut. Pada kuartal II 2019, ekonomi Hong Kong mengalami kontraksi sebesar 0,4%.
(Baca: Transformasi ke Digital, BCA Bakal Suntik Modal Bank Royal Rp 700 M)
Meski tertekan sentimen eksternal, Ibrahim menilai, rupiah masih tertahan akibat pasar yang optimistis melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Pertumbuhan kuartal III masih cukup bagus karena pemerintah terus melakukan strategi bauran sehingga memberikan informasi yang positif tentang perekonomian dalam negeri," ujarnya.
Di samping itu, Bank Indonesia (BI), terus agresif dalam kebijakan suku bunganya sehingga bisa mengimbangi pemerintah dalam menerapkan strategi bauran tersebut. BI juga terus melakukan intervensi di pasar valuta asing dan obligasi dalam perdagangan DNDF.
Dalam transaksi besok,ia memperkirakan rupiah akan bergerak pada kisaran Rp 14.000-14.050 per dolar AS dengan kecenderungan melemah.