Tantangan Global Berat, Sri Mulyani Dinilai Tepat Pimpin Kemenkeu Lagi
Presiden Joko Widodo telah mengumumkan susunan Kabinet Jokowi - Ma'ruf atau Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Sejumlah nama baru memberikan kejutan. Namun beberapa posisi masih tetap diduduki tokoh lama, salah satunya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan.
Berdasarkan analisis Kepala Ekonom The Development Bank of Singapore (DBS) Masyita Crystallin, penunjukkan Sri Mulyani mendapat reaksi positif dari pasar. “Terutama di tengah kondisi global yang masih volatil,” kata Masyita dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (28/10).
Menurut dia, tantangan global saat ini sangat berat. Pertumbuhan ekonomi dunia sedang melemah, belum lagi diwarnai perang dagang dan beberapa isu geopolitik. Semua hal ini dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Karena itu, Masyita memprediksi Kementerian Keuangan melanjutkan manajemen anggaran yang baik, begitu juga dalam reformasi fiskal. Manajemen anggaran yang baik sangat penting dalam kondisi yang volatil ini. Sebab, anggaran pemerintah diperlukan sebagai stimulus di saat ekonomi sedang melemah dan secara bersamaan menjaga defisit agar tetap di koridor yang aman.
(Baca: Jadi Menkeu Periode ke-2, Sri Mulyani Fokus pada Efektivitas Belanja)
Sementara reformasi fiskal tetap perlu menjadi prioritas. “ Karena rasio pajak yang masih kurang dari 12 % di bawah rata-rata negara peers,” ujarnya. Untuk tumbuh lebih tinggi, dia melanjutkan, Indonesia membutuhkan rasio pajak setidaknya 15 %.
Sedangkan mengenai kabinet baru secara keseluruhan, Masyita menilai cukup netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Kabinet ini memiliki kombinasi antara partai dan profesional yang cukup baik.
Terlepas dari latar belakang para menteri di kabinet Jokowi yang baru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memastikan visi Jokowi dapat tercapai, yaitu Indonesia menjadi negara kaya di tahun 2045. Pertama, Indonesia harus tumbuh di atas 6 %. Angka ini hanya bisa dicapai jika mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia diperbaharui.
Saat ini, perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Sektor manufaktur, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan dan Tiongkok hanya berkembang sekitar 4 % selama beberapa tahun terakhir, di bawah pertumbuhan ekonomi.
Untuk tumbuh lebih tinggi, dia menilai, revitalisasi sektor manufaktur sangat penting dilakukan segera, khususnya untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi. Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan yakni yang menyerap tenaga kerja cukup tinggi. “Karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru yang perlu pekerjaan,” ujarnya.
Masyita juga melihat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi Jokowi yaitu terus melakukan
reformasi. Tantangan lainnya adalah menemukan mesin ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan di atas potensi sebesar 5 % sembari mempertahankan stabilitas rupiah. Permintaan domestik yang stabil akan memudahkan mencapai angka ini. Yang menjadi tantangan yaitu meningkatkan potensi pertumbuhan 6 %.
(Baca: Suahasil Nazara, Profesor UI yang Jadi Wamen Sri Mulyani)
Dalam jangka pendek, pertumbuhan global yang melambat dapat berdampak pada
pertumbuhan Indonesia. Namun pertumbuhan separuh 2019 memperlihatkan Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan emerging market Asia lainnya. “Sayangnya, Indonesia belum menerima pengalihan produksi dari perang dagang, yang dapat menjadi terbalik bagi beberapa negara di Asia seperti Taiwan dan Vietnam,” ujarmya.
Sementara risiko utama dalam jangka pendek yaotu terus menurunnya harga komoditas, serta pertumbuhan investasi swasta yang lambat. Sedangkan dalam jangka menengah, untuk tumbuh di atas potensi, Indonesia perlu mengembangkan mesin pertumbuhan yang solid melalui manufaktur, sektor bernilai tambah lebih tinggi, dan jangan terlalu bergantung pada produksi komoditas mentah.