Terlalu Banyak Insentif Pajak, Utang Pemerintah Terancam Bengkak
Penerimaan pajak berpotensi turun dalam beberapa tahun ke depan, seiring banyaknya insentif serta rencana penurunan tarif pajak. Akibatnya, defisit Anggaran dan Pendapatan Negara (APBN) dan utang pemerintah berpotensi kian membengkak.
Pemerintah, mengucurkan insentif berupa tax holiday, tax allowance, serta super deduction tax untuk pengembangan vokasi, penelitian, dan industri padat karya. Selain itu, Kementerian Keuangan juga tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Perpajakan, yang antara lain memuat penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 20% secara bertahap mulai 2021
RUU Perpajakan tersebut juga akan menghapus Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen untuk seluruh kepemilikan saham. Saat ini, hanya pemegang saham di atas 25% yang tak dikenakan pajak tersebut.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai penurunan tarif PPh badan, penghapusan PPh atas dividen, serta beragam insentif lainnya dapat membuat penerimaan negara, terutama yang berasal dari pajak menurun dalam beberapa tahun ke depan. Pasalnya, kondisi ekonomi global masih akan menghadapi ketidakpastian.
"Kondisi ekonomi global kemungkinan akan mengalami perlambatan, perang dagang hingga kini belum jelas nasibnya. Dengan situasi tersebut, sulit untuk meningkatkan penerimaan. Dampaknya, defisit APBN dan utang bisa meningkat," ujar Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (4/9).
(Baca: Godok RUU Perpajakan, Sri Mulyani Siapkan Insentif dan Tarif PPh)
Menurut dia, dampak insentif pajak terhadap perekonomian sendiri membutuhkan waktu paling cepat 3-5 tahun. Apalagi, kondisi perekonomian global saat ini tak mendukung investor untuk meningkatkan investasi.
"Ada insentif pajak tak serta merta membuat investor ingin investasi, mereka juga melihat situasi ekonomi. Apalagi, jika perizinan dan regulasi masih berbelit. Mungkin bukan insentif pajak yang dibutuhkan pengusaha," ungkap dia.
Ia mencontohkan, pada tahun lalu belanja pajak pemerintah untuk memberikan stimulus ekonomi melalui insentif mencapai Rp 221 triliun. Namun, pertumbuhan ekonomi tahun lalu masih berada di kisaran 5%.
Penerimaan negara yang hilang dari insentif pajak akhirnya tak bisa ditutup dengan peningkatan investasi seperti harapan pemerintah.
Pemerintah, menurut dia, harus mempertimbangkan kembali waktu yang tepat dalam mengucurkan insentif pajak. Selain itu, insentif pajak juga harus diberikan secara selektif dan transparan.
"Di beberapa negara, wajib pajak yang menerima insentif datanya dibuka sehingga ada transparansi. Ini seharusnya juga dapat dilakukan pemerintah," ungkap dia.
(Baca: PPh Badan Turun Bertahap Jadi 20%, Penerimaan Akan Hilang Rp 54 T)
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah harus mengoptimalkan pemanfaatan data keuangan dalam menambal potensi kehilangan penerimaan tersebut.
"Dengan keterbukaan informasi dan dukungan politik yang kuat, Direktorat Jenderal Pajak diharapkan dapat lebih optimal menyisir potensi pajak barudengan mengoptimalkan pemanfaatan data keuangan," katanya.
Adapun ia menjelaskan, sumber baru tersebut bisa didapat jika terdapat back up politik yang mendukung. Hal ini karena data keuangan pasti menyangkut orang-orang kaya, kuat, dan mungkin juga penting.
Maka dari itu, Yustinus menilai perlu sinergi dengan penegak hukum lain dalam mencari sumber pajak baru. "Dan secara politik didukung penuh presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jangan sampai saling menyandera dan ada kriminalisasi," ucap dia.
Yustinus menilai sejumlah poin yang akan masuk dalam RUU Perpajakan seperti yang telah disampaikan Sri Mulyani cukup menjawab kebutuhan jangka pendek pelaku usaha. Namun, ia berharap pemerintah turut mendengar pendapat publik seperti akademisi, praktisi, pelaku usaha dan lain-lain dalam membuat kebijakan terkait RUU tersebut.
Selain itu, ia menilai bahwa pemerintah juga harus terus berkomitmen untuk mengupayakan perbaikan terutama mengidentifikasi dan menginventarisasi kebijakan yang menghambat perekonomian. Menurut dia, beberapa kebijakan atau aturan pemerintan terkadang menjadi disinsentif bagi pelaku usaha, terutama pengusaha menengah-kecil.
"Hal penting yang juga perlu diperhatikan adalah insentif pajak untuk wajib pajak bukan pengusaha yang selama ini berpotensi terbebani pajak yang kurang proporsional," terang dia.