Kondisi Global Labil, BI Pangkas Proyeksi Ekonomi RI di Bawah 5,2%
Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi di bawah 5,2 %. Sebelumnya bank sentral itu memperkirakan ekonomi Tanah Air di kisaran 5 - 5,4 %. Perubahan tersebut seiring dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama 2019 yang hanya 5,07 %, lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 5,18%.
"BI perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 cenderung berada di bawah titik tengah 5-5,4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat dewan gubernur BI di kantornya, Jakarta, Kamis (16/5).
Capaian pertumbuhan ekonomi triwulan pertama juga di bawah perkiraan BI. Pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi oleh penurunan ekonomi global dan harga komoditas yang berdampak terhadap melemahnya laju ekspor. Konsumsi rumah tangga pun ikut terdampak, demikian pula investasi yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, belanja pemilu lebih rendah dari perkiraan BI.
Selain itu, perlambatan ekonomi dipengaruhi oleh penurunan pertumbuhan spasial, seperti menurunnya pertumbuhan ekonomi Jawa, Kalimantan, dan Papua. Namun, pertumbuhan di pulau lainnya masih meningkat.
(Baca: BI Ubah Proyeksi Defisit Transaksi Berjalan Lebih Tinggi Hingga 3%)
Ke depan, BI bersama pemerintah akan mendorong permintaan domestik untuk meningkatkan konsumsi. Selain itu, investasi juga akan ditingkatkan untuk memitigasi dampak negatif perlambatan global. "BI akan terus menempuh bauran kebijakan dan otoritas terkait guna menjaga dan mendroong monetum pertumbuhan ekonomi ke depan," ujarnya.
Antisipasi Gejolak Global, Pemerintah Dorong Belanja Negara
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tekanan global memberikan efek terhadap kinerja ekspor dan impor Indonesia yang tercermin dari ekspor periode Maret 2019 yang turun 9,4% secara tahunan sedangkan impor turun 7%.
Untuk menahan gejolak global, dari sisi fiskal, pemerintah mengubah arah anggaran atau countercylical. Artinya, belanja negara didorong kencang di tengah penerimaan anggaran yang rendah. Dengan demikian, konsumsi rumah tangga dapat meningkat melalui belanja pemerintah. "APBN sebagai alat fiskal tidak berdiri sendiri, mencerminkan ekonomi bisa countercylical. Penerimaan rendah tapi tetap menjaga belanja," ujarnya.
Seperti diketahui, perang dagang antara dua perekonomian terbesar di dunia memanas setelah Amerika Serikat menaikkan tarif impor terhadap US$ 200 miliar produk Tiongkok menjadi 25 %. Langkah ini dibalas oleh Tiongkok dengan menaikkan tarif impor terhadap US$ 60 miliar produk Amerika.
(Baca: Bank Mandiri Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Tahun ini Bisa Capai 5,22%)
Sementara itu, Presiden Amerika Donald Trump mengatakan akan bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada KTT G-20 bulan depan. "Mungkin sesuatu akan terjadi," kata Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih beberapa waktu lalu.
Adapun Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini 0,2% lebih rendah menjadi 3,3% dari proyeksi Januari sebesar 3,5%. Proyeksi 3,3% untuk tahun ini juga lebih rendah 0,3% di pertumbuhan 2018. Namun, ekonomi global diharapkan tumbuh kembali menjadi 3,6% pada 2020.