Penerbitan Obligasi Global Diprediksi akan Dipacu pada Mei-Juni 2019
Surat Berharga Negara (SBN) syariah berdenominasi valas atau sukuk global yang baru saja dijual pemerintah diburu investor. Kementerian Keuangan menyebut hal ini seiring kondisi pasar keuangan global yang tengah tenang. Namun, ekonom menilai, pemerintah tidak akan memacu kuota penebitan SBN valas atau global bond di awal tahun ini.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan momentum yang tepat untuk menerbitkan obligasi global adalah pada awal Juni. Sebab, sesuai siklus tahunan, kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) meningkat pada periode Mei-Juni untuk pembayaran utang maupun pembagian dividen korporasi.
Bila global bond diterbitkan pada periode ini maka bisa menopang kebutuhan dolar AS tersebut, sehingga membantu meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah. “Ada siklus di mana pasar butuh dolar, awal Juni bisa diterbitkan (obligasi global)," kata Lana kepada katadata.co.id, Kamis (14/2).
(Baca: Sukuk Global Indonesia US$ 2 Miliar Laris, Oversubscribed 3,8 Kali)
Lana menambahkan, pemerintah juga kemungkinan tidak menggeber penerbitan global bond di awal tahun lantaran menunggu kemungkinan bunga acuan turun. Sebab, penurunan bunga acuan dapat mengurangi beban pemerintah dalam membayar utang.
Tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan global bond sebesar 14-17% dari rencana penerbitan surat berharga negara (SBN) bruto yang sebesar Rp 825,70 triliun. Ini artinya sekitar Rp 115 triliun hingga Rp 140 triliun.
Mengutip keterangan tertulis Kementerian Keuangan, obligasi global akan diterbitkan sebagai komplementer untuk menghindari crowding out (perebutan dana) di pasar domestik serta menjaga keberadaan di pasar modal internasional.
(Baca: Imbal Hasil Surat Utang Naik-Turun, Pinjaman Luar Negeri Jadi Bantalan)
Adapun Februari ini, pemerintah baru saja menjual sukuk global sebesar US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28 triliun. Sukuk global tersebut didaftarkan di Singapore Stock Exchange dan NASDAQ Dubai. Sukuk mendapatkan sambutan positif dari investor hingga kelebihan permintaan (oversubscribed) 3,8 kali. Selain itu, harganya lebih rendah 25-30 basis poin dari indikasi awal.
Selain karena kondisi global yang tengah tenang, Lana menjelaskan, besarnya minat investor terhadap sukuk global tersebut lantaran imbal hasil yang ditawarkan pemerintah menarik di mata investor. Selain itu, sukuk global dianggap tidak memiliki risiko nilai tukar lantaran itu merupakan instrumen investasi dalam dolar AS, sehingga tak ada risiko nilai tukar.
Selain itu, Direktur Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, permintaan besar juga seiring dengan risiko utang Indonesia yang sangat baik di mata investor asing, terlepas dari polemik di dalam negeri tentang utang pemerintah.
(Baca: KEIN: Utang Bukan Barang Baru, Sudah Ada Sejak Soeharto sampai SBY)
Rendahnya risiko utang tercermin dari rasio utang yang masih sangat rendah yaitu 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemudian, pengelolaan utang yang dilakukan secara disiplin dan sangat hati-hati. "Pemerintah tidak pernah melewati batas defisit anggaran 3% dari PDB," ujarnya. Pemerintah juga tidak pernah gagal bayar.