Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019
Gejolak di pasar keuangan kemungkinan masih akan berlanjut ke tahun depan. Hal itu seiring dengan banyaknya ketidakpastian yang menyelimuti perekonomian global, utamanya terkait kebijakan moneter di negara maju dan perang dagang.
Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja memprediksi volatilitas tinggi di pasar keuangan pada semester I 2019. "(Penyebab) yang paling utama divergensi kebijakan moneter yang dipimpin Amerika Serikat (AS). Faktor ini akan berhenti atau mereda pada akhir semester 1," kata dalam Media Gathering UOB di Jakarta, Rabu (19/12).
Perkembangan negosiasi dagang AS-Tiongkok juga akan memengaruhi pasar keuangan. Nilai tukar mata uang pun bakal terpengaruh. "US-Tiongkok sedang gencatan senjata untuk menemukan titik tengah pada 28 Februari. Jadi, kuartal pertama kita akan seru seperti roller coaster," ujarnya.
(Baca juga: Peluang Kembali Mengalirnya Dana Asing di Tengah “Melunaknya” The Fed)
Menurut dia, volatilitas akan terasa pada negara berkembang (emerging market) yang sektor eksternalnya lemah. Sektor eksternal yang dimaksud meliputi cadangan devisa dan neraca transaksi berjalan. Hal ini tergambar tahun ini di tengah melebarnya defisit transaksi berjalan Indonesia.
Beberapa isu lainnya yang juga akan memengaruhi volatilitas di pasar keuangan yaitu harga minyak dunia dan perlambatan ekonomi global. Harga minyak dunia diperkirakan menurun karena kelebihan produksi. Sementara, perekonomian global diperkirakan melambat yang diindikasikan oleh permintaan energi yang turun.
Di sisi lain, kawasan Eropa juga masih menanti kepastian keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). "Keputusan Brexit apa akan exit, referendum ulang, soft Brexit, hard Brexit? (Akibatnya) volatilitas akan meningkat," ujarnya.
(Baca juga: Babak Baru Perang Dagang AS vs Tiongkok, Siapa Buntung?)
Ia menyakini pemerintah Indonesia akan merespons dengan kebijakan yang terukur meski dalam keadaan penuh guncangan. Namun, ia menekankan perlunya reformasi struktural yang berkesinambungan untuk meningkatkan daya tahan perekonomian.
Setelah semester 1 terlewati, ia memperkirakan kondisi ekonomi akan mulai tenang. Namun, pemerintah tetap perlu memerhatikan pengaruh pelemahan rupiah terhadap ekonomi. Menurut dia, industri berorientasi lokal dengan impor yang tinggi berpotensi menekan perekonomian.
Ia memperkirakan BI akan menaikkan kembali suku bunga acuan sebanyak 2-3 kali lagi guna menguatkan arus masuk dana asing dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Namun, kenaikan bunga acuan ini akan mendekati akhir kenaikannya.