Kurs Rupiah Merosot, Ekonom Serukan Kenaikan Bunga Acuan
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali terjadi. Setelah berhasil menguat ke level 13.800 per dolar AS pada akhir Mei hingga awal Juni lalu, kini rupiah kembali ke kisaran 14.100 per dolar AS seiring berlanjutnya arus keluar dana asing. Para Ekonom pun kembali menyarankan agar Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menyarankan kenaikan BI 7 Days Repo Rate sebesar 0,25%. "Sementara ini 25 basis poin menjadi 5%. Sebaiknya tetap konservatif," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (26/6).
Menurut dia, kenaikan tersebut perlu dilakukan lantaran perekonomian global semakin tak menentu seiring potensi kenaikan agresif bunga acuan AS atau Fed Fund Rate dan perang dagang. Kondisi tersebut telah memicu arus keluar dana asing ke aset dan mata uang dolar AS untuk tujuan meraup untung ataupun sebagai safe haven. Alhasil, pasar keuangan dan mata uang negara lainnya terpukul.
Meski begitu, Tony melihat masih ada peluang Fed Fund Rate tak naik agresif. Sebab, hal tersebut sebetulnya bisa merugikan AS yang tengah menekan defisit perdagangannya. Maka itu, ia menyarankan kebijakan BI 7 Days Repo Rate tetap konservatif. "Kalau Fed Fund Rate naik cepat, dolar semakin menguat, justru akan menyulitkan Amerika memangkas defisit," kata dia.
(Baca juga: Waspadai Kenaikan Agresif Bunga AS, BI Pertimbangkan Kerek Bunga Acuan)
Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, jika ingin berefek besar, perlu ada kenaikan signifikan BI 7 Days Repo Rate untuk mengimbangi Fed Fund Rate. Jika Fed Fund Rate naik dua kali lagi tahun ini, ia menyarankan kenaikan Bi 7 Days Repo Rate sebanyak 2-3 kali lagi.
Menurut dia, BI juga bisa menaikkan langsung 0,5% BI 7 Days Repo Rate untuk menjaga selisih antara imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) dan US Treasury. "Sehingga spread (selisih) dengan Treasury tidak semakin lebar," kata dia. Namun, kenaikan signifikan perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak justru dipersepsikan negatif oleh investor asing atau dimanfaatkan oleh para spekulan untuk memperoleh untung valas.
(Baca juga: Kurs Rupiah Tersandera Dana Asing, Bunga Acuan Bisa Jadi Obat Mujarab?)
Di luar kenaikan BI 7 Days Repo Rate, Bhima menekankan perlu ada terobosan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, yaitu membereskan defisit transaksi berjalan dan neraca dagang. Kondisi defisit menunjukkan pasokan dan permintaan dolar AS tak berimbang. Hal ini turut menekan nilai tukar rupiah. Pemberesan defisit merupakan tugas pemerintah.
"Kalau yang berkaitan dengan defisit tidak segera dikurangi, langkah moneter apapun akan shortview sangat jangka pendek," ujar dia. Ia pun mengingatkan, upaya stabilisasi kurs dengan mengerek BI 7 Days Repo Rate juga “terlalu mahal” lantaran membuat naiknya biaya pinjaman (cost of borrowing) bagi sektor riil. Adapun sejauh ini, ia menilai belum ada terobosan berarti dari pemerintah untuk menekan defisit neraca dagang.
Dorongan untuk menaikkan BI 7 Days Repo Rate juga disampaikan Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Alasannya, tekanan nilai tukar rupiah yang besar dikhawatirkan akan mengganggu sektor manufaktur yang bahan bakunya bergantung pada impor. Ia berpendapat, selama BI 7 Days Repo Rate masih di bawah 5,5% maka tak akan berdampak besar terhadap laju perekonomian.
Mengacu pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah berada pada level 14.179 per dolar AS, melemah 0,14% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya, atau anjlok 2,35% dibandingkan posisi terkuatnya sepanjang Juni ini yaitu 13.853 per dolar AS pada Rabu (6/6).
Pelemahan tersebut seiring dengan berlanjutnya arus keluar dana asing dari pasar keuangan domestik. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, dana asing di SBN tercatat sebesar Rp 835,66 triliun per Senin (25/6), atau turun Rp 9,37 triliun dibandingkan posisi tertingginya sepanjang Juni ini yaitu Rp 845,03 triliun yaitu pada Jumat (8/6).
Sementara itu, berdasarkan data RTI, investor asing tercatat membukukan penjualan bersih (net sell) saham sebesar Rp 5,12 triliun selama sepekan belakangan atau Rp 8,86 triliun dalam kurun waktu sebulan.