Alasan Penting di Balik BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 4,25 %
Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan, BI 7 Days Repo Rate, di level 4,25 persen dengan Deposit Frequency Ratio (DFR) dan Loan to Funding Ratio (LFR) juga tetap masing-masing di level 3,50 dan 5,00 persen. Ada sejumlah alasan mengapa keputusan tersebut diambil, di antaranya untuk terus mendorong momentum pemulihan ekonomi domestik.
Ke depan, bank sentral tetap berfokus menjaga stabilitas perekonomian yang menjadi landasan utama bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan. Walau demikian, beberapa risiko perlu dicermati. “Peningkatan pertumbuhan ekonomi global bersumber dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang terus berlanjut,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budo Waluyo di kantornya, Jakarta, Kamis (19/4/2018).
(Baca juga: Jaga Pertumbuhan, Ekonom Prediksi BI Tak Naikkan Suku Bunga).
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2018 lebih baik dari kuartal yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut didorong oleh permintaan domestik khususnya investasi. Salah satu pilar pertumbuhan ekonomi ini meningkat baik pada bangunan maupun nonbangunan. Sementara konsumsi swasta diprediksi meningkat seiring dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak.
Dari sisi eksternal, ekspor tumbuh positif terutama bersumber dari ekspor komoditas pertambangan dan produk manufaktur yang membaik. Sementara itu, impor juga diperkkirakan meningkat khususnya barang modal dan bahan baku. Secara keseluruhan tahun, BI perkirakan pertumbuhan ekonomi berkisar 5,1-5,5 persen.
Adapun inflasi diperkirakan tetap berada dalam kisaran target yakni 2,5 - 4,5 persen secara tahunan. Maret lalu inflasi tercatat 0,2 persen secara bulanan, turun dari Januari yang sebesar 0,17 persen. “Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh minimalnya tekanan inflasi inti, di tengah meningkatnya inflasi administered prices dan volatile food,” ujar dia.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2018 surplus US$ 1,09 setelah pada Februari 2018 defisit US$ 0,05 miliar. Hal ini didukung perbaikan ekspor nonmigas. (Baca: Mengubah Tren Defisit, Neraca Dagang Maret Surplus US$ 1,09 Miliar).
Untuk nilai tukar rupiah, BI mencatat rata-rata harian rupiah melemah 1,13 persen pada Maret 2018. Tekanan terhadap rupiah terutama disebabkan oleh perbaikan indikator ekonomi Amerika Serikat (AS) yang diikuti ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate yang lebih agresif, serta risiko berlanjutnya perang dagang Amerika-Tiongkok. “Bank Indonesia akan terus mewaspadai meningkatnya risiko ketidakpastian pasar keuangan global,” kata dia.
Bank sentral juga melihat sistem keuangan tetap stabil disertai intermediasi perbankan yang membaik. Hal ini tercermin pada rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi mencapai 23,1 persen dan rasio likuiditas (AL/DPK) sebesar 23,0 persen pada Februari 2018. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) relatif tidak berubah sebesar 2,9 persen (gross) atau 1,3 persen (net) pada Februari 2018.
Di sisi lain, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Februari 2018 tercatat 8,4 persen secara tahunan atau relatif sama dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Adapun pertumbuhan Kredit dan DPK akan lebih baik pada tahun ini masing-masing dalam kisaran 10,0-12,0 dan 9,0 - 11,0 persen secara tahunan.