Kewajiban Pencantuman Data Pembeli di e-Faktur Pajak Tuai Pro Kontra
Kalangan pengusaha kembali mengeluhkan ketentuan baru perpajakan. Kali ini, terkait kewajiban bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) non-retail untuk mencantumkan identitas pembeli dalam faktur pajak elektronik (e-faktur) yang diterbitkannya.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 26 Tahun 2017. Adapun identitas yang dimaksud termasuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jika pembeli merupakan orang pribadi dan belum memiliki NPWP, maka digunakan Nomor Identitas Kependudukan (NIK) atau paspor untuk Warga Negara Asing (WNA).
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Herman Juwono menyebut ketentuan yang berlaku mulai 1 Desember 2017 lalu itu berisiko membuat transaksi dagang turun.
“Sekarang yang toko-toko biasa saja kalau dia PKP harus menyebutkan identitas dari pembeli, (termasuk) dalam hal ini NIK. Itu adalah KTP kan? Nah, ini gaduh. Begitu gaduh, itu akhirnya transaksi (bisa) menurun,“ kata dia dalam diskusi mengenai arah kebijakan pajak, beberapa waktu lalu.
Namun, Direktur Jenderal Pajak baru Robert Pakpahan menekankan ketentuan itu memiliki tujuan positif yakni untuk transparansi. Apalagi, di Indonesia, persentase sektor informal yang aktivitas ekonominya tak terekam pemerintah sangat tinggi. Alhasil, kewajiban perpajakannya pun tak terawasi.
“Pertanyaannya, kita mau terus tidak transparan? Atau mau bergerak ke arah transparan dengan sedikit struggle (usaha),” kata dia. (Baca juga: Kepatuhan Meningkat, Penerimaan Pajak di Luar Tax Amnesty Tumbuh 14,5%)
Di sisi lain, Pengamat Pajak Yustinus Prastowo berpendapat, waktu (timing) pemberlakuan ketentuan tersebut kurang tepat meskipun tujuannya baik. Sebab, pemerintah tengah berupaya menggenjot konsumsi masyarakat untuk mendongkrak ekonomi, sedangkan kebijakan tersebut bisa memicu keraguan untuk belanja.
“Database dari konsumsi memang paling mudah untuk proflling (pembuatan profil wajib pajak untuk mengetahui kepatuhan ataupun potensi pajaknya). “Tapi, momentumnya kurang pas.” (Baca juga: Kemenkeu Kaji Tarif Pajak dan Perlakuan Khusus E-Commerce UMKM)
Lebih jauh, ia menambahkan, ketentuan tersebut juga belum kuat lantaran tidak diatur dalam undang-undang. Maka itu, perlu ada singkronisasi lebih dulu. “Sia-sia kan kalau nanti dikoreksi terus kalah. Ini soal yuridis. Jangan sampai tabrak aturan,” kata dia.
Prastowo menyarankan pemerintah untuk membangun sistem identitas tunggal alias single identity terlebih dulu agar NIK berfungsi sebagai NPWP. “Ketika NIK menjadi NPWP, tidak ada alasan lagi orang untuk menolak (mencantumkan nomor identitasnya saat bertransaksi jual-beli),” ucapnya. (Baca juga: Satukan Nomor Penduduk dan NPWP, Wajib Pajak Bisa Tambah 1 Persen)