IMF Pangkas Prediksi Ekonomi Indonesia, Sri Mulyani Lakukan Kajian
Setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melansir pertumbuhan ekonomi kuartal III yang di bawah target, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,2% menjadi 5,1% pada 2017. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi tahun depan diproyeksi 5,3%, di bawah target pemerintah 5,4%.
Menanggapi proyeksi IMF, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bakal mengkaji dasar proyeksi tersebut. Bila dasarnya adalah konsumsi rumah tangga yang di bawah ekspektasi, maka pemerintah akan fokus menjaga pertumbuhan investasi dan ekspor. Harapannya, hal tersebut bisa mendorong pendapatan masyarakat ke depan, sehingga konsumsi rumah tangga membaik.
"Menurut saya, IMF asumsi konsumsi 5%, maka tantangan besarnya jaga momentum investasi maupun ekspor sehingga sekuat kuartal III. Kami akan upayakan itu terjaga sesuai instruksi Presiden," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (15/11). (Baca juga: Godok Insentif Pajak, Sri Mulyani Harap Ekonomi Kuartal IV Tumbuh 5,3%)
Melalui keterangan resminya, IMF menjelaskan proyeksi tersebut berdasarkan hasil kunjungan tim IMF yang dipimpin oleh Luis E Breuer ke Indonesia pada 1 hingga 14 November 2017 lalu. Breuer berpandangan bahwa ekonomi Indonesia terus membaik, didukung oleh kebijakan makroekonomi yang hati-hati, peningkatan pertumbuhan global dan harga komoditas, dan upaya berkelanjutan untuk memperkuat daya saing.
Namun, ia melihat adanya risiko domestik terutama yang berasal dari penerimaan pajak. Maka itu, diperlukan reformasi perpajakan untuk menciptakan ruang fiskal yang lebih baik. "Ada risiko domestik seperti kekurangan pajak,” kata Breuer. (Baca juga: Penerimaan Kurang Rp 426 Trliun, Ditjen Pajak Andalkan 4 Pemasukan)
Selain itu, ia juga melihat adanya sederet risiko eksternal berupa pertumbuhan ekonomi mitra dagang Indonesia yaitu Tiongkok yang lambat, ketegangan politik di kawasan, kondisi keuangan global yang lebih ketat yang dapat mendorong tingkat suku bunga domestik, serta pembalikan modal asing.
Maka itu, ia mengusulkan agar pemerintah membuat kombinasi kebijakan jangka pendek untuk menghadapi kondisi tersebut. Adapun dari sisi fiskal, ia menilai, pemerintah telah merancang kebijakan fiskal yang tepat dengan membangun kembali penyangga fiskal lewat defisit anggaran yang lebih rendah pada 2018.
Dari sisi moneter, ia mendorong agar kebijakan terus diarahkan tidak hanya untuk menjaga stabilitas harga, tapi mendukung pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ia mengapresiasi kebijakan Bank Indonesia (BI) yang tidak melakukan intervensi berlebihan terhadap nilai tukar rupiah.
Adapun terkait sistem keuangan, ia menilai, sistem perbankan dikapitalisasi dengan baik, profitabilitas tinggi, dan likuiditas sistem keseluruhan cukup. Tak hanya itu, kredit bermasalah telah stabil. Meski begitu, diperlukan pemantauan ketat lantaran pinjaman dengan rincian khusus dan pinjaman yang direstrukturisasi tetap tinggi.