Lemahnya Konsumsi Domestik Indonesia Membingungkan Bank Dunia
Stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat melemahnya konsumsi masyarakat, mengundang perhatian Bank Dunia (World Bank). Sebab, kondisi konsumsi rumah tangga yang lesu itu masih memerlukan data dan analisis lebih lanjut. Dugaan sementara, ekonomi Indonesia sedang menyesuaikan diri dengan reformasi struktural yang tengah dijalankan pemerintah.
Dalam laporan bertajuk "Indonesia Economic Quarterly: Closing The Gap" yang dirilis Selasa (3/10) lalu, Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 5,1%. Angka itu turun dari ramalan pertumbuhan pada Juni 2017 yang sebesar 5,2%. Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2017 setelah mencermati perkembangan ekonomi yang tumbuh stagnan di kuartal kedua 2017, yakni sebesar 5,01%.
Meski capaian tersebut menempatkan Indonesia di antara negara-negara besar yang pertumbuhannya paling cepat di dunia, stagnasi yang terjadi di tengah membaiknya lingkungan eksternal dan momentum reformasi ekonomi jelas mengkhawatirkan. Bank Dunia terutama menaruh perhatian terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal II-2017 yang tidak meningkat. Padahal, konsumsi masyarakat masih menjadi motor dan kontributor utama pertumbuhan ekonomi di negara ini.
Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves, realitas ini berlawanan dengan beberapa indikator yang menunjukkan hasil positif, seperti pertumbuhan lapangan kerja, kenaikan upah, masih adanya kepercayaan konsumen, menurunnya inflasi dari komoditas pangan, dan kurs rupiah yang stabil.
Apalagi, periode Ramadan dan Idul Fitri tahun ini juga berlangsung di kuartal kedua, sehingga seharusnya ada peningkatan konsumsi rumah tangga yang signifikan. Tapi, ternyata itu tidak terjadi. Hal ini membingungkan Bank Dunia.
Chavez menilai, tidak adanya peningkatan dalam pertumbuhan konsumsi rumah tangga di triwulan II-2017 merupakan teka-teki yang memerlukan data dan analisis lebih lanjut. Salah satu kemungkinannya, saat ini perekonomian masih menyesuaikan diri dengan reformasi struktural. "Sementara dampaknya ke pertumbuhan masih membutuhkan waktu," imbuhnya.
Pemerintah mulai menjalankan reformasi struktural ekonomi dengan meluncurkan program tax amnesty, kerja sama pertukaran informasi pajak, dan serentetan kebijakan perpajakan lainnya. Pemerintah juga meluncurkan serangkaian paket kebijakan untuk meningkatkan iklim berusaha dan investasi.
Dari aspek kebijakan fiskal lainnya, pemerintah menggencarkan pembangunan proyek infrastruktur di seluruh pelosok Indonesia. Pemerintah juga menyiapkan serangkaian mekanisme untuk memancing keterlibatan swasta dalam pembiayaan infrastruktur.
Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) memulai siklus pelonggaran moneter yang baru dengan memangkas suku bunga sebesar 25 basis point (bps) pada Agustus dan September untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini diambil setelah melihat inflasi yang saat ini lebih rendah dari perkiraan dan pertumbuhan kredit yang masih lamban.
Ekonom Faisal Basri mengakui, permintaan domestik Indonesia memang mengalami tekanan. Sebagai contoh, perdagangan wholesale dan ritel pada Semester I 2017 tumbuh 4,66%. Namun, pertumbuhan dari subsektor ini turun dari 5,41% pada semester I 2017 menjadi 3,94% pada kuartal II 2017.
Yang terjadi, menurut Faisal, adalah penurunan konsumsi, bukan daya beli, kelompok menengah-atas untuk berjaga-jaga dengan menaikkan nilai tabungan atau switching to saving. Ini bisa dilihat dari porsi pendapatan yang ditabung pada kuartal II-2017 yang meningkat menjadi 20,77% dari sebelumnya 18,6% pada kuartal II 2016.
Selain itu, berdasarkan survei kepercayaan konsumen yang dilakukan Bank Mandiri nilai tabungan naik dari 20,6% pada Juli dibanding bulan sebelumnya menjadi 21,1% pada Agustus. Di sisi lain, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) naik tajam sejak Oktober 2016 dan mencapai dua digit, yakni sebesar 11,2% pada Mei 2017.
Ada pula masyarakat yang beralih ke belanja online atau e-commerce. Tetapi porsinya masih relatif kecil. "Tidak sampai 2% dari bisnis ritel total," katanya.