Tarif Angkutan Mudik Naik, BI Prediksi Puncak Inflasi Pada Juni
Bank Indonesia (BI) memperkirakan, inflasi pada Juni akan sedikit lebih tinggi dibanding bulan lalu yang sebesar 0,39 persen. Berdasarkan survei pekan pertama Juni, inflasi tercatat sebesar 0,5 persen.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Doddy Budi Waluyo mengatakan, tekanan inflasi pada Juni ini di antaranya karena kenaikan tarif angkutan. Selain itu, dampak dari kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) 900 volt ampere (VA).
“Pekan pertama sudah 0,5 persen itu karena dampak kenaikan TDL dan pengaruh angkutan,” kata Doddy di kantornya, Jakarta, Kamis (15/6). Di sisi lain, harga pangan bergejolak (volatile food) diklaim cenderung stabil sehingga tak membebani inflasi lebih jauh.
BI memperkirakan puncak inflasi 2017 bakal terjadi pada Juni ini. Meski begitu, tingkat inflasinya diperkirakan bakal lebih rendah dibanding periode sama atau Ramadan di tahun-tahun sebelumnya. “Pick up (naik), tapi tidak tajam,” ucapnya.
Ke depan, BI melihat tekanan inflasi bakal mulai berkurang. Alasannya, karena tekanan dari kenaikan TDL 900 VA sudah hilang. Maka itu, inflasi diproyeksikan masih sesuai target yaitu 3-5 persen. Namun, proyeksi bisa berubah jika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga-harga yang kemudian mempengaruhi harga pangan bergejolak. (Baca juga: Menko Darmin: Pemerintah Kaji Kenaikan BBM Setelah Lebaran)
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berharap inflasi Juni ini setinggi bulan lalu atau 0,39 persen. Bila tingkat inflasi tersebut terealisasi maka bakal menjadi inflasi Ramadan terendah dalam lebih dari satu dekade.
“Agak susah sih memprediksinya, karena dia (BI) angkanya keluar 0,5 persen. Bukan enggak bisa turun. Kami sih berharap sama kayak bulan lalu, paling 0,39 persen,” ujar dia. (Baca juga: Darmin Proyeksikan Inflasi Ramadan 2017 Terendah dalam 10 Tahun)
Data Inflasi Ramadan 2005-2016
Tahun | Inflasi Ramadhan dan Hari Raya |
2005 | Oktober 8,7 persen dan November 1,31 persen |
2006 | September 0,38 persen dan Oktober 0,86 persen |
2007 | September 0,8 persen dan Oktober 0,79 persen |
2008 | September 0,97 persen dan Oktober 0,45 persen |
2009 | Agustus 0,56 persen dan September 1,05 persen |
2010 | Agustus 0,76 persen dan September 0,44 persen |
2011 | Juli 0,67 persen dan Agustus 0,93 persen |
2012 | Juli 0,7 persen dan Agustus 0,95 persen |
2013 | Juli 3,29 persen dan Agustus 1,12 persen |
2014 | Juni 0,43 persen dan Juli 0,93 persen |
2015 | Juni 0,54 persen dan Juli 0,93 persen |
2016 | Juni 0,66 persen dan Juli 0,69 persen |
Data BPS, diolah
Darmin melihat adanya peluang inflasi lebih rendah dari survei BI lantaran harga beberapa komponen pangan bergejolak seperti cabai rawit, bawang putih, dan gula sudah menurun. Adapun, pangan yang harganya tercatat naik yaitu daging dan telur ayam.
Meski begitu, menurut dia, kenaikan harga daging dan telur dianggap sudah semestinya lantaran harganya sempat jatuh. Jika penurunan harga berlanjut terus, peternak yang akan dirugikan. Oleh karena itu, pemerintah membiarkan harganya sedikit naik.
Darmin menjelaskan, tingkat Inflasi rendah yang ingin dicapai pada Ramadan kali ini bertujuan untuk mengubah tradisi lonjakan harga yang selalu terjadi tiap kali Ramadan. Ia menekankan, tidak boleh ada ekspektasi kenaikan harga menjelang Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri.
“Kami balikkan situasinya. Karena semua orang menganggap Ramadan (harga harus) naik. Dia naik beneran. Itu yang harus ditinggalkan,” ucapnya.