Ditolak DPR, Rini Pastikan PP 72/2016 Hanya Buat Holding BUMN
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN hanya berlaku untuk proses pembentukan induk usaha (holding) BUMN per sektor.
Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, sebelumnya beberapa perusahaan pelat merah telah membentuk holding, dengan dasar PP 44/2005. Langkah ini dilakukan pada PT Pupuk Indonesia (Persero).
Namun, ternyata aturan tersebut belum bisa mengakomodasi seluruh kepentingan pemerintah. Salah satunya mengenai ketentuan kepemilikan saham utama (dwiwarna) pada BUMN yang telah berubah menjadi anak usaha.
Oleh karena itu pemerintah akhirnya merevisi PP 44/2005 menjadi PP 72/2016. Dengan revisi ini, pengawasan pemerintah terhadap anak usaha holding BUMN tidak hilang. "Pada PP 72/2016 itu jelas, ada saham dwiwarna. Jadi, pengurusan dan anggaran dasar masih terkontrol di pemegang saham utama," ujar Rini di Jakarta, Kamis (9/2).
Menurut dia, PP 72/2016 ini hanyalah sebagai pelengkap dari aturan sebelumnya. Namun, aturan ini akan otomatis berlaku untuk holding BUMN yang sudah terbentuk. Aturan ini juga hanya khusus diperuntukan bagi pembentukan holding BUMN.
Sementara langkah korporasi lainnya, seperti privatisasi atau penjualan saham ke publik harus dilakukan melalui mekanisme seperti biasa, berdasarkan peraturan yang berlaku. Pemerintah juga harus melaporkan rencana tersebut kepada DPR
Meski PP 72/2016 sudah terbit, Rini masih belum bisa memastikan kapan pembentukan holding BUMN ini akan terwujud. Alasannya, saat ini pemerintah masih melakukan konsultasi dengan DPR terutama di Komisi VI, untuk meminta masukan. Dia yakin setelah polemik di DPR selesai, maka pembentukan holding akan segera terealisasi.
Sebelumnya, Komisi VI DPR menolak PP 72/2016 dijadikan payung hukum pendirian induk usaha BUMN. Alasannya, bila menggunakan payung hukum tersebut maka kewenangan DPR dalam mengawasi aksi korporasi perusahaan-perusahaan pelat merah bakal tergerus.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohamad Hekal mengatakan PP 72/2016 disebutkan bahwa BUMN akan menjadi anak usaha dari holding. Padahal, sesuai Undang-Undang BUMN, anak usaha BUMN secara definisi bukanlah BUMN. Bila peraturan ini dijadikan payung hukum, maka aksi korporasi anak usaha holding, termasuk pelepasan aset tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR.
"Secara umum teman-teman di Komisi VI keberatan dengan PP 72/2016 ini. Kami, secara sikap politik belum menyetujui adanya peraturan tersebut," ujar Hekal saat ditemui di ruang rapat Komisi VI, Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/1).
Ia menganggap, lewat peraturan tersebut pemerintah ingin mengambil konsensus sendiri untuk menentukan aksi korporasi perusahaan-perusahaan BUMN. Dia khawatir pemerintah akan dengan mudah melepas aset atau saham BUMN kepada pihak swasta, terutama swasta asing. "Itu yang kami mau amankan, kalau dia (BUMN) sudah lepas dari milik pemerintah ke swasta maka akan jadi perkara," ujar dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI lainnya Inas Nasrullah Zubir mengatakan, dalam PP 72 tahun 2016 terdapat satu pasal yang bermasalah yakni pasal 2A. Dalam pasal ini disebutkan bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain. Penyertaan modal ini dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan demikian, bisa terjadi pemindah tanganan aset tersebut kepada Perseroan Terbatas, baik milik BUMN maupun swasta lainnya, bahkan asing dengan cara dijadikan penyertaan modal negara dalam suatu perusahaan. "Ini berbahaya karena aset negara bisa pindah ke perusahaan asing," ujar Inas.