Risiko di Balik Perubahan Tiga Indikator Ekonomi Era Trump
Kepemimpinan Donald Trump sebagai presiden terpilih Amerika Serikat (AS) diprediksi akan membawa era baru bagi perekonomian negara tersebut. Sejumlah ekonom memproyeksikan adanya pertumbuhan ekonomi, kenaikan suku bunga dan inflasi. Namun, perubahan tiga indikator makroekonomi itu berpotensi menimbulkan sejumlah risiko, termasuk perang perdagangan internasional.
Para ekonom dalam survei bulanan yang dilakukan The Wall Street Journal, melihat program kerja yang diusung Trump melalui pengurangan pajak dan investasi untuk infrastruktur akan menjadi stimulus fiskal. Menurut Direktur Institut for Economic Competitiveness di University of Central Florida, Sean Snaith, kebijakan itu dipercaya mampu mengangkat Amerika Serikat keluar dari keterpurukan ekonomi.
“Yang menjadi pertanyaan, apakah hal ini akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian AS, atau malah membuatnya merosot?” kata Snaith, seperti dilansir The Wall Street Journal, Senin (14/11).
Pada umumnya, para ekonom memprediksi adanya peningkatan pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 2,2 persen tahun depan dan 2,3 persen di tahun 2018. Hal ini dicapai melalui peningkatan stimulus fiskal sebesar 1,5 persen selama 12 bulan terakhir.
(Baca: Trump Bisa Goyahkan Masa Depan The Fed)
Alhasil, stimulus fiskal itu akan mengerek angka inflasi, yang diperkirakan 2,2 persen tahun depan dan 2,4 persen pada 2018. Jika perkiraan tersebut tepat, maka inflasi tersebut akan menjadi inflasi berkelanjutan di atas 2 persen yang pertama sejak masa resesi pada 2007 hingga 2009.
Sebanyak 57 akademisi, ekonom bidang keuangan dan bisnis yang disurvei selama periode 9-11 November lalu, memperkirakan akan ada kenaikan pertumbuhan ekonomi, inflasi serta suku bunga, baik untuk 2017 maupun 2018. Namun, banyak ekonom yang menyatakan prediksi yang mereka sampaikan masih bersifat tentatif.
“Siapa saja yang menyebut tahu pasti yang akan terjadi di bawah pemerintahan Trump, kemungkinan sedang berbohong,” ujar Kepala Ekonom Manulife Asset Management, Megan Greene.
Ia pun berpendapat, agenda Trump yang dapat diterapkan pertama kali adalah pembatasan perdagangan atau kebijakan terhadap imigrasi. Namun, keduanya bisa membawa kehancuran bagi perekonomian Amerika Serikat.
Sementara itu, ada dua kebijakan Trump yang menimbulkan keyakinan, yaitu pemangkasan pajak serta rencananya memacu sektor infrastruktur. Meski begitu, pelaksanaannya membutuhkan waktu panjang karena harus melalui persetujuan Kongres.
Trump dan para petinggi Kongres memiliki pemikiran yang sama dalam hal pemotongan pajak dan pemangkasan regulasi. Kebanyakan ekonom menilai pengurangan pajak, terlebih jika tanpa disertai pemotongan belanja, mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Lebih lanjut, jika program kerja Trump melalui belanja infrastruktur berhasil, bisa mendorong pembukaan lapangan kerja di sektor tersebut, yang akan berdampak terhadap industri lainnya. (Baca: Kebijakan Ekonomi Trump: Proteksionisme, Pemangkasan Pajak, Keuangan)
Selama setahun terakhir, para ekonom mencemaskan perlambatan pertumbuhan ekonomi internasional sebagai risiko terbesar yang akan dihadapi AS. Namun, kondisinya berbeda sekarang. Dalam survei yang dilakukan setelah pemilu, sebanyak 65 persen ekonom menyatakan, faktor yang sangat mungkin menghantam perekonomian adalah kesalahan pemerintahan.
Sebanyak 43 persen ekonom menyatakan, risiko teratas yang mungkin muncul adalah perang perdagangan. Langkah Amerika Serikat menerapkan tarif bagi negara-negara asing bisa menimbulkan lebih banyak hambatan dalam perdagangan. Selain itu, meningkatkan harga barang impor, serta mempersempit ruang gerak bagi para eksportir AS.
“Semua akan mengalami kekalahan jika perang perdagangan global terjadi,” kata Kepala Ekonom di High Frequency Economics, Amerika Serikat, Jim O’Sullivan. (Baca: Pasar Global Terpuruk Menyambut Kemenangan Trump)
Sementara itu, sejumlah ekonom lain mengkhawatirkan investasi yang berpotensi merosot. Investasi bisnis telah memperlihatkan penurunan selama lebih dari satu tahun. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian kebijakan setelah pemilu. Secara umum, satu berbanding lima ekonom yang disurvei The Wall Street Journal meramalkan kemungkinan resesi dalam 12 bulan mendatang.