Pangkas Suku Bunga, BI Tak Khawatir Efek Bank Sentral Amerika
Seiring rendahnya inflasi, Bank Indonesia kembali memangkas suku bunga acuan, BI 7-Day Repo Rate, ke level 4,75 persen. Level tersebut merupakan yang terendah sepanjang masa. BI menyatakan sudah mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menurunkan bunga acuan, termasuk kemungkinan Bank Sentral Amerika, The Federal Reserve (The Fed), meningkatkan suku bunga dananya (Fed Fund Rate) di akhir tahun.
Berdasarkan proyeksi pasar, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makro Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sekali di akhir tahun. BI meyakini hal itu tak akan berdampak besar terhadap pasar keuangan global. Sebab, pasar sudah memperhitungkan kemungkinannya.
“Kalau belajar dari 2005, justru setelah kenaikan Fed Rate di Desember, ada kenaikan inflow (dana asing masuk) ke emerging market (negara yang pasarnya tengah berkembang),” kata Juda di kantornya, Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2016. (Baca juga: Pacu Kredit, BI Agresif Pangkas Bunga Acuan Jadi 4,75 Persen).
Seperti diketahui, BI kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25 menjadi 4,75 persen kemarin. Dengan demikian, suku bunga acuan telah turun 2,5 persen sejak awal tahun ini. Level suku bunga tersebut merupakan yang terendah sepanjang masa, baik ketika suku bunga acuan masih menggunakan BI rate maupun BI 7-Day Repo Rate. Pelonggaran moneter diharapkan bisa mendorong penyaluran kredit sehingga memacu ekonomi tumbuh lebih tinggi.
Bukan hanya soal Fed Fund Rate, BI juga sudah mempertimbangkan dampak dari pemilu presiden Amerika yang bakal digelar 8 November mendatang. Juda mengakui sulit untuk menghitung risiko dari masing-masing kandidat presiden. Namun, ia meyakini, pelaku pasar cenderung akan memilih kandidat yang kebijakannya tidak membatasi. “Kami lihat, bahwa yang protectsionisme berdampak negatif terhadap ekonomi global dan domestik,” kata Juda.
Hingga saat ini, ia mencatat dana asing yang masuk (capital inflow) mencapai US$ 12,1 miliar atau lebih tinggi dibanding aliran masuk portfolio untuk keseluruhan 2015. Imbasnya rupiah menguat hingga 0,41 persen ke level Rp 13.110 per dolar AS. Penguatan bahkan berlanjut hingga minggu ketiga Oktober, rupiah menguat ke posisi Rp 13.005 per dolar AS. (Baca juga: Tahan Bunga Rendah, Bank Sentral Amerika Dicurigai Main Politik).
Menurut dia, besarnya capital inflow ini karena stabilitas makro ekonomi terjaga dan implementasi pengampunan pajak (tax amnesty) terbilang berhasil. Dari sisi eksternal, hal ini juga dipicu oleh meredanya risiko ekonomi global dan sentimen kenaikan Fed Fund Rate. “Kami akan jaga (kurs) rupiah tetap sesuai fundamentalnya. Itu tetap komitmen kami untuk jaga kurs tidak terlalu eksesif terapresiasinya,” kata Juda.
Ekonom Bahana Securities Fakhrul Fulvian meyakini ruang bagi pelonggaran moneter masih akan berlanjut hingga akhir 2017 ''Dengan inflasi yang stabil rendah hingga akhir tahun, rupiah yang menguat serta neraca perdagangan yang menunjukkan perbaikan, ruang pelonggaran masih ada," kata Fakhrul. (Baca juga: Kredit Masih Lemah, Pemerintah Didorong Turun Tangan).
Fakhrul memperkirakan inflasi pada tahun ini akan berada di level 3,3 persen. Hal tersebut sejalan dengan proyeksi BI bahwa inflasi bakal mendekati batas bawah sasaran sebesar 3 - 5 persen. Sekedar catatan, inflasi hingga September berada di level 3,07 persen. Dengan demikian, masih ada jarak sekitar 1,73 persenan dengan BI 7-Day Repo Rate.
Defisit neraca perdagangan yang terburuk diyakini sudah terlewati dan memasuki tahap perbaikan.
Menurut Fakhrul, perbaikan tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi di Eropa dan India seperti yang dilansir BI dalam pengumuman suku bunga acuan, kemarin. “Untuk yang pertama kali setelah beberapa kali RDG (Rapat Dewan Gubernur), BI menyinggung tentang positifnya perkembangan pertumbuhan di India. Ini menandakan ada beberapa hal positif yang mulai terbangun," kata Fakhrul.
BI memang melansir ekonomi Eropa dan India diperkirakan tumbuh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Kondisi ketenagakerjaan Eropa yang membaik telah mendorong kenaikan pendapatan dan menopang perbaikan konsumsi. Di sisi lain, konsumsi di India diperkirakan meningkat didukung oleh kenaikan pendapatan.
Adapun di pasar komoditas, harga minyak dunia masih pada level yang rendah, sejalan dengan masih tingginya produksi minyak OPEC. Meski begitu, mayoritas harga komoditas ekspor Indonesia mengalami perbaikan, seperti batubara, minyak sawit mentah dan beberapa barang tambang. (Baca: Harga Komoditas Naik, Neraca Dagang September Diramal Surplus).
Membaiknya perdagangan internasional juga tampak pada data Dana Moneter Internasional (IMF). Pada Juni 2016, total nilai perdagangan dunia hanya melambat 3,95 persen secara tahunan (year on year), lebih rendah dibanding perlambatan pada Desember 2015 yang sebesar 13,3 persen. Sedangkan, volume perdagangan dunia melambat 3,4 persen. Perlambatan lebih ringan dibanding Desember 2015 yang sebesar 11,4 persen.