Pemerintah Perlu Maksimalkan Ruang Pelebaran Defisit Anggaran

Desy Setyowati
19 September 2016, 13:30
Jokowi APBN
Arief Kamaludin (Katadata)
Presiden Joko Widodo saat membacakan nota keuangan RAPBN 2017 di Gedung MPR/DPR, Jakarta, 16 Agustus 2016.

Pemerintah berencana menaikkan proyeksi defisit anggaran untuk mengantisipasi kemungkinan seretnya penerimaan negara hingga akhir tahun ini. Langkah ini dudukung oleh para ekonom, ketimbang memangkas kembali anggaran belanja pemerintah yang dapat mengerem laju pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengakui, keterbatasan pilihan pemerintah dalam mengelola anggaran saat ini. Penyebabnya, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan penerimaan pajak yang besar. Alhasil, memperlebar defisit merupakan langkah tepat.

Bahkan, Lana menyarankan agar pemerintah mengambil penuh ruang pelebaran defisit anggaran hingga tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pertimbangannya, pemerintah daerah (pemda) terlihat kurang maksimal dalam menyerap anggarannya dan memanfaatkan dana yang tersedia untuk mendorong perekonomian.

(Baca: Penerimaan Minim, Sri Mulyani Usul Pelebaran Defisit ke Jokowi)

Berdasarkan aturan, ruang pelebaran defisit anggaran pemda bisa mencapai 0,5 persen. “Tapi pemda kan jarang defisit, sayang jadi ruang yang tidak dimanfaatkan. Kalau perlu semuanya tiga persen diambil (pemerintah pusat) sehingga bisa bergerak lebih dominan," kata Lana kepada Katadata, Senin (19/9).

Kendati mendukung langkah pelebaran defisit, Lana memperingatkan pandangan investor terhadap kenaikan utang pemerintah untuk membiayai defisit tersebut. Menurut dia, sepanjang rasio utang terhadap PDB di bawah 33 persen masih aman.

Saat ini, rasio utang Indonesia terhadap PDB sekitar 26 persen. Jadi, masih ada ruang penambahan utang sebesar tujuh persen. Dengan perhitungan PDB sekitar Rp 12.000 triliun, maka penambahan utang yang masih dapat ditoleransi oleh investor sebesar Rp 840 triliun tahun ini.

Secara umum, menurut Lana, tambahan utang relatif aman.

Namun, pemerintah perlu memperkuat hubungan dengan lembaga pemeringkat internasional untuk mengantisipasi sentimen negatif investor dan keluarnya dana asing secara mendadak. (Baca: Penerimaan Seret, Menkeu Waspadai Kenaikan Cost Recovery)

"Biasanya pemeringkat baru mengingatkan hati-hati saja (terhadap kenaikan utang), sudah direspons negatif oleh pasar. Jadi butuh lobi-lobi untuk meyakinkan lembaga pemeringkat, kalau saat ini butuh pelebaran defisit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.

Senada dengan Lana, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memandang pelebaran defisit merupakan langkah tepat. Alasannya, demi mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen tahun ini, belum bisa mengandalkan investasi swasta. Para investor masih melihat dan menunggu (wait and see) keberhasilan dari program pengampunan pajak (tax amnesty).

Karena itulah, David memandang, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi hanya bergantung pada pengeluaran pemerintah. Padahal, anggaran sudah dipotong dua kali sepanjang tahun ini, yakni sebesar Rp 50 triliun dan Rp 137,6 triliun.

"Sebenarnya ini (pelebaran defisit) positif untuk jaga momentum pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Di sisi lain, David menilai, dari sisi moneter belum bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Indikasinya, penyaluran kredit hanya tumbuh sekitar 6 persen. “Ini terendah sejak krisis 1998. Jadi perlu stimulus dari pemerintah," katanya.

Seperti diketahui,  Menteri Keuangan Sri Mulyani mengisyaratkan kenaikan defisit anggaran dari 2,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 296,7 triliun menjadi 2,7 persen atau sekitar Rp 338,8 triliun. Penyebabnya, total penerimaan negara hingga akhir Agustus lalu mencapai Rp 840,2 triliun atau 46,1 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun. Diperkirakan secara keseluruhan penerimaan tahun ini kurang Rp 219 triliun atau 12 persen dari target.

(Baca: Defisit Anggaran Melebar, Pemerintah Masih Bisa Tambah Surat Utang)

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan, pemerintah tidak akan memotong lagi anggaran, baik anggaran kementerian maupun dana untuk daerah. "Barangkali yang bisa saya dibilang, tidak ada lagi rencana pemotongan (anggaran)," ujarnya. Alhasil, opsinya untuk mengamankan anggaran tahun ini adalah memperlebar defisit melalui penambahan utang.

Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (SUN DJPPR) Kementerian Keuangan Loto Srianita Ginting mengatakan, per 5 September lalu penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sudah mencapai Rp 549,4 triliun atau 89,9 persen dari target Rp 611,4 triliun. Jumlah itu terdiri dari SUN yang sudah terbit sebesar Rp 389,3 triliun.

Sedangkan target pembiayaan dari SBN sebesar Rp 611,4 triliun itu sudah dinaikkan Rp 17 triliun dari semula Rp 594,4 triliun karena defisit diperkirakan melebar dari 2,35 persen menjadi 2,5 persen. Dengan rencana pemerintah menaikan defisit menjadi 2,7 persen, artinya ada penambahan utang sebesar Rp 25,1 triliun menjadi Rp 636,5 triliun.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...