Rupiah Paling Terpukul Akibat Spekulasi Kenaikan Bunga The Fed
KATADATA - Alih-alih melanjutkan penguatan hingga menembus level 12.000-an per dolar Amerika Serikat (AS), rupiah malah cenderung terus melemah dalam 10 hari terakhir ini. Pelemahan rupiah merupakan yang terdalam di antara sejumlah mata uang negara-negara pasar sedang berkembang (emerging market) di tengah spekulasi kenaikan suku bunga AS pada April mendatang.
Berdasarkan kurs referensi JISDOR di Bank Indonesia (BI), Senin ini (28/3), rupiah berada di posisi 13.323 per dolar AS atau melemah 0,6 persen dibandingkan penutupan perdagangan Kamis pekan lalu (24/3). Ini merupakan pelemahan rupiah dalam tiga hari perdagangan berturut-turut sebesar 1,2 persen.
Di pasar spot, pada Senin ini, rupiah mencapai posisi 13.342 per dolar AS atau melemah 0,73 persen dibandingkan Kamis pekan lalu. Bahkan, rupiah sempat menyentuh 13.370 per dolar AS, yang merupakan level terendah sejak awal Maret ini.
Pelemahan rupiah sejalan dengan terpuruknya indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada penutupan perdagangan BEI, Senin ini, IHSG turun 1,1 persen menjadi 4.774. Sementara itu, tren penurunan imbal hasil (yield) obligasi negara sejak beberapa pekan lalu telah berakhir. Seiring arus keluar dana investor asing, imbal hasil surat utang negara (SUN) acuan tenor 10 tahun naik tigas basis poin menjadi 7,80 persen.
(Baca: Jaga Dana Asing Kabur, Pemerintah Bisa Pajaki Valas Jangka Pendek)
Di antara 20 mata uang negara-negara yang pasarnya berkembang, pelemahan rupiah pada Senin ini merupakan yang terdalam. Sebagai perbandingan, baht Thailand dan rupee India melemah masing-masing 0,3 persen dan 0,1 persen. Bahkan, ringgit Malaysia malah menguat 0,7 persen. Pelemahan mayoritas mata uang negara-negara berkembang sejaln dengan penguatan dolar AS. Indeks dolar AS terhadap 10 mata uang utama, berdasarkan data Bloomberg, naik ke level tertinggi sejak 16 Maret lalu.
Penguatan dolar AS dipicu oleh bertambah besarnya spekulasi kenaikan suku bunga di AS. Para analis memperkirakan, bank sentral AS atau Federal Reserve akan menaikkan suku bunga pada April mendatang. Hal ini lebih cepat dari perkiraan semula pada semester kedua mendatang. Perkiraan itu didasari oleh data penambahan sekitar 200 ribu tenaga kerja di AS pada pekan kedua Maret lalu.
(Baca: BI Rate Turun 3 Kali, BI Menilai Kebijakannya Belum Efektif)
Apalagi, data manufaktur Cina yang dirilis pada Jumat pekan lalu menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dengan begitu, para pejabat The Fed tentu akan semakin percaya diri untuk menaikkan suku bunga.
"Perhatian tentang kemungkinan kenaikan suku bunga AS telah muncul kembali sehingga melemahkan sentimen di pasar berkembang (emerging market)," kata Komsorn Prakobphol, Senior Investment Strategist Tisco Financial Group Pcl, pengelola dana sekitar US$ 5 miliar di Bangkok, Thailand, seperti dikutip Bloomberg. Ia menambahkan, kenaikan suku bunga akan semakin memperkuat dolar AS sehingga akan memicu hengkangnya dana asing dari pasar negara-negara berkembang.
(Baca: BI Peringatkan Pasar Dampak Kenaikan Fed Rate)
Jika melongok lebih jauh, tren pelemahan rupiah mulai terjadi sejak Kamis dua pekan lalu (17/3) yang bertepatan dengan pengumuman penurunan suku bunga acuan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,75 persen. Kala itu, rupiah masih bertengger di posisi 13.075 per dolar AS. Tapi, sejak itu rupiah terus melemah sebesar 2 persen. Ini memangkas penguatan rupiah sejak awal tahun ini sehingga menjadi 3,23 persen.