2.000 Perusahaan Asing Tak Bayar Pajak, Negara Rugi Rp 500 Triliun
KATADATA - Selama ini penerimaan pajak negara selalu gagal mencapai target. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat salah satu penyebab gagalnya pecapaian target ini adalah banyaknya perusahaan yang tidak membayar pajak.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan selama 10 tahun ini tercatat hampir dari 2.000 perusahaan yang berstatus PMA (penananaman modal asing) tidak pernah membayar pajak. Mereka tidak melaksanakan kewajibannya dengan alasan masih menderita rugi.
Padahal, berdasarkan hasil pemeriksaan DitJen Pajak dengan melihat dari perhitungan komponen pajak, seharusnya perusahaan tersebut masih bisa mendapat untung. Rata-rata nilai pajak yang seharusnya dibayarkan oleh setiap perusahaan tersebut mencapai Rp 25 miliar setiap tahun. Artinya dalam 10 tahun negara kehilangan penerimaan hingga Rp 500 triliun.
"Ini merupakan bagian dari penggelapan pajak yang harus dibereskan,” ujar Bambang usai rapat terbatas (ratas) pencucian uang dan penggelapan pajak di Kantor Presiden, Senin (21/3). (Baca: Direktorat Pajak Siapkan 10 Langkah Genjot Penerimaan 2016)
Selain itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat ada banyak masalah kepatuhan pajak dari para wajib pajak. Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan setiap hari pihaknya menerima 150 ribu laporan mengenai transaksi keuangan. Laporan ini kemudian dikembangkan dan dianalisis bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Hasilnya banyak Wajib Pajak (WP) yang melakukan kecurangan dengan hanya membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan. “Kami ambil sampel, ternyata dari sampel itu sudah menunjukkan hasil. Misalnya semula orang itu (WP) katakanlah membayar pajak Rp 3 miliar saja, sekarang sudah Rp 50 miliar,” ujar Yusuf. Dia mengaku belum mengetahui berapa jumlah wajib pajak yang melakukan hal ini, tapi diperkirakan cukup banyak.
PPATK pun mengaku siap memasok data-data kepada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan terkait informasi transaksi keuangan objek pajak yang dinilai bermasalah. Apalagi dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 2/2016 terkait kewajiban penyampaian data dan informasi dari instansi pemerintah ataupun swasta, PPATK akan semakin mudah mendapatkan data-data berbagai pihak untuk dianalisis dan dimanfaatkan Ditjen Pajak. (Baca: Pembukaan Data Nasabah Bank bagi Pajak Akan Dipermudah)
Dalam ratas yang berlangsung hingga hampir dua jam ini, Presiden Joko Widodo meminta PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai berkoordinasi dan menggunakan data bersama. Sektretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan presiden telah menginstruksikan kepada Menteri Keuangan dan jajaran Ditjen Pajak untuk segera memperbaiki sistem teknologi informasi (IT) yang ada dan terintegrasi. Sehingga tidak ada lagi data-data yang bersifat manual dan berbeda-beda.
Menurut Pramono, perbaikan sistem IT dengan lebih terintegrasi bisa meningkatkan rasio penerimaan pajak (tax ratio). “Saat ini tax ratio Indonesia masih sekitar 11 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bapak Presiden menginginkan dalam waktu ke depan tax ratio bisa ditingkatkan di atas 12-13 persen, bahkan 15 persen,” ujar Pramono. (Baca: Kejar Target 2016, Pemerintah Bidik Wajib Pajak Pribadi)