Tax Amnesty Diganjal DPR, Ditjen Pajak Bisa Adu Kewenangan
KATADATA - Sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berniat menunda pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak (tax amensty), berpotensi mengancam target penerimaan pajak tahun ini. Agar DPR menyetujui kebijakan tersebut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bisa saling adu kewenangan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyayangkan kemungkinan tertundanya pemberlakuan tax amnesty. Selain bakal mengancam penerimaan negara tahun ini, hal itu dapat menurunkan kepatuhan para wajib pajak. Pasalnya, wajib pajak membutuhkan kepastian aturan untuk membuat perkiraan dan rencana usaha ke depan.
Selain itu, menurut dia, sekarang merupakan momentum yang pas untuk menerapkan pengampunan pajak. Apalagi, belanja negara yang tinggi menuntut penerimaan yang besar pula. Untuk itu, dia menantang Ditjen Pajak menggunakan kewenangannya seperti halnya DPR. “Saya mau provokasi Ditjen Pajak, ada indikasi tax amnesty diganjal DPR. Tidak apa-apa. Bisa main nih,” ujar Prastowo dalam acara media gathering Ditjen Pajak di Bali, Kamis (25/2).
Adu kewenangan yang dimaksud adalah memeriksa kepatuhan anggota DPR dalam melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Dengan begitu, wajib pajak juga akan menjadi disiplin melaporkan SPT secara benar. “Misalnya uji SPT ketua fraksi, Ketua DPR. Masuk aja ke permainan itu, adu kewenangan. Ini alat pemukul yang efektif,” ujarnya.
(Baca: Perubahan APBN 2016 Menunggu Kepastian Tax Amnesty)
Menanggapi tantangan tersebut, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Edi Slamet Irianto mengatakan, pihaknya masih akan bersinergi dengan DPR agar mau memahami dan mendukung pemerintah dalam menerapkan pengampunan pajak. Tapi kalau DPR sulit memahami dan cenderung menggunakan kewenangannya secara sepihak untuk menunda tax amnesty, Ditjen Pajak akan memikirkan jalan keluar yang lain. Sayangnya, dia tidak menjelaskan bentuk jalan keluar tersebut. “Kan kami harus baik-baik.”
Seperti diketahui, pemerintah mengandalkan kebijakan pengampunan pajak untuk menambah penerimaan negara tahun ini. Dalam RUU Tax Amnesty, pemerintah menjanjikan penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana perpajakan dengan membayar uang tebusan. Berdasarkan perhitungan tahun lalu, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dari kebijakan tersebut sebesar Rp 60 triliun.
(Baca: Ganjal RUU Tax Amnesty, DPR Minta Jokowi Keluarkan Ampres)
DPR telah menyetujui RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Pada 15 Februari lalu, Presiden Joko Widodo sudah menyerahkan Surat Presiden terkait pengampunan pajak kepada DPR. Surat presiden ini sebagai sebuah bentuk kesepakatan politik bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty berjalan bersamaan dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini juga mengacu kepada kesepakatan pemerintah dan DPR dalam sidang pari[purna DPR, 17 Desember tahun lalu.
Namun, belakangan, pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan DPR memutuskan untuk menunda revisi UU KPK. Hal tersebut membuat nasib pembahasan RUU Tax Amnesty menjadi tidak jelas. Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Firman Subagyo mengatakan, penundaan pembahasan tax amnesty karena pemerintah menunda revisi UU KPK. “Sekarang masih pro-kontra. Samalah seperti (pembahasan RUU) KPK. Kalau pemerintah bisa menunda, kan bisa juga nanti teman-teman (DPR). Politik itu dinamis,” katanya, Selasa lalu (23/2).