Menkeu: Kondisi Masih Terkendali, Jauh dari Krisis
KATADATA ? Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih cukup aman. Dilihat dari indikator makro ekonomi, kondisi saat ini masih lebih baik daripada situasi pada 1998.
Dia membandingkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada dua periode tersebut. Saat ini, inflasi Juli masih terkendali yakni hanya 7,26 persen (yoy), neraca perdagangan masih mengalami surplus, ekonomi pada semester II masih mengalami pertumbuhan 4,7 persen.
?Inflasi 1998 itu puluhan persen, kemudian pertumbuhan ekonomi minus 14 persen. Kondisinya sama dengan Rusia dan Brasil saat ini,? kata Bambang di Gedung MPR/ DPR, Jakarta, Selasa (25/8).
Begitu juga, dengan sektor perbankan yang rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) masih dalam keadaan sehat. Sedangkan terkait rupiah yang menyentuh level Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS), dia mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) akan fokus di pasar valuta asing (valas) dan surat utang.
?Kondisi perekonomian sama sekali berbeda dengan 1998. Masih terkendali. (Kondisi ini) karena lebih banyak disebabkan oleh gejolak global,? ujar dia. ?Kondisi masih terkendali, tidak krisis atau jauh dari krisis.? (Baca: DPR Minta Pemerintah Bertindak Cepat Antisipasi Krisis)
Selain itu, pemerintah dan BI tengah menyiapkan kerangka Bond Stabilization Framework (BSF), yakni menyediakan dana untuk membeli kembali (buyback) obligasi negara bila diperlukan. Sebelumnya pemerintah juga sudah menggelontorkan dana Rp 1,4 triliun untuk buyback SBN sejak tiga pekan lalu, dan masih menyisakan dana buyback sebesar Rp 1,6 triliun.
Anggota Komisi Keuangan DPR Maruarar Sirait mengatakan, situasi saat ini belum masuk pada tahapan krisis, meskipun dampak perlambatan ekonomi global sudah mempengaruhi Indonesia. ?Belum krisis, cadangan devisa masih kuat. Kami juga tahu regulator, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemerintah telah bersinergi baik dan harmonis,? kata dia.
Kendati demikian, DPR akan mengutamakan pembahasan RUU JPSK supaya tidak terulang kejadian pada 2008. Ketika itu ada persoalan, tapi pemerintah tidak memiliki protokol dengan payung hukum yang kuat. ?Sampai saat ini kita belum punya protokol yang legal. Iklim usaha juga belum pasti. Pengambilan keputusan juga butuh rasa aman,? kata dia.
Pada Mei lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui jika situasi saat ini lebih sulit ketimbang krisis keuangan global pada 2008-2009 lalu. Ketika itu, kondisi Indonesia masih cukup aman karena AS menggelontorkan stimulus dengan membeli aset-aset di pasar keuangan global.
Selain itu, harga komoditas juga masih cukup tinggi, sehingga kapasitas ekspor Indonesia masih besar. Alhasil, penerimaan negara pun tetap terjaga.
?Pada 2009 diguyur uang, ada capital flight ke negara emerging. Perekonomian baik, komoditas booming,? kata Bambang dalam seminar bertajuk ?Strategi Mewujudkan Arsitektur Sistem Keuangan dan Perbankan Nasional yang Tangguh? di Jakarta, Rabu (13/5).
Kondisi pada enam tahun lalu itu berbeda dengan sekarang. Perekonomian AS tengah dalam tren pemulihan setelah terkena krisis. Sementara ekonomi negara-negara kawasan Eropa dan Jepang justru dalam kondisi yang sebaliknya.
Kebijakan di antara keduanya pun terkesan saling bertentangan yang berdampak negatif terhadap negara-negara dengan pasar yang baru berkembang (emerging market). Meskipun ada stimulus fiskal dari Eropa dan Jepang, dana tersebut tidak mengucur ke emerging market, melainkan ke AS. Alhasil, dolar AS mengalami penguatan terhadap mata uang dunia.
Berdasarkan data yang dihimpun Katadata, sebelum terjadi krisis ekonomi 1997-1998, yakni sebelum likuidasi 16 bank pada 1 November 1997, nilai rupiah tercatat melemah sebesar 35 persen dari Rp 2.362 per dolar AS menjadi Rp 3.615 per dolar AS. Pada akhir 1997, rupiah semakin terpuruk ke posisi Rp 5.403 atau turun 129 persen dibandingkan awal tahun.
Rupiah semakin merosot setelah Presiden Soeharto menandatangani letter of intent (LoI) dengan IMF pada 16 Januari 1998. Ketika itu rupiah berada di Rp 8.450 per dolar AS, dan puncaknya pada Juni 1998 di posisi Rp 16.650 per dolar AS.
Sementara ekonomi pada kuartal III-1997 masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 2,45 persen, dan pada 1998 tercatat minus 13 persen. Adapun surplus neraca perdagangan pada 1998 justru naik hingga 83 persen, yakni mencapai US$ 18,4 miliar. Kenaikan surplus tersebut sejalan dengan nilai rupiah yang melemah.