Usulan Dana Aspirasi Harus Melalui Mekanisme Pembahasan APBN
KATADATA – Sebagai bendahara negara, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pihaknya tidak bisa begitu saja mengalokasikan dana aspirasi dalam anggaran negara. Dia menegaskan hal ini harus melalui mekanisme pembahasan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sedang berjalan.
“Harus mengikuti mekanisme yang sudah ada. Ruang fiskal (dalam APBN) itu nanti kami menentukan berdasarkan penerimaan yang kami targetkan,” kata Bambang usai menandatangani Komitmen Pengendalian Gratifikasi di kantornya, Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut dia, hasil sidang paripurna kemarin hanya mengesahkan peraturan internalnya. Lagipula, bila dana aspirasi ingin dimasukan dalam APBN harus mengikuti mekanisme yang berjalan. Sebab, pemerintah tidak bisa menambahkan anggaran baru.
Untuk bisa menyatakan setuju atau tidak mengenai usulan dana aspirasi ini, kata Bambang, pihaknya harus melihat proposal usulan tersebut terlebih dahulu. Hingga saat ini Bambang mengaku belum menerima proposal terkait dana aspirasi atau usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Meski sudah lolos dalam sidang paripurna, usulan dana aspirasi ini sebenarnya masih menjadi perdebatan di DPR. Dalam sidang paripurna kemarin, fraksi Nasional Demokrat (Nasdem), PDI Perjuangan, dan Hati Nurani Rakyat (Hanura) menyatakan tidak sepakat dengan usulan ini.
Dana aspirasi yang dijaukan sebesar Rp 20 miliar per anggota DPR per tahun. Bila dihitung dengan 560 anggota DPR, maka totalnya mencapai Rp 11,2 triliun per tahun. Dengan besarnya usulan dana tersebut, DPR mengaku nantinya akan dikelola secara transparan. Ketua DPR Setya Novanto mengatakan akan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK dalam proses pengawasan agar penggunaan dana ini berjalan transparan.
Pelaksana tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrachman Ruki mengatakan pihaknya tidak setuju dengan usulan dana aspirasi ini. Namun, dia mengaku pasrah kebijakan ini sudah diputuskan di sidang paripurna DPR.
“Kalau sudah jadi keputusan politik mau diapakan? Tapi secara pribadi jujur saja saya tidak setuju. Di negara demokrasi ini pendapat orang per orang itu tidak bisa jadi pegangan,” ujar dia.
Dia hanya bisa mengimbau agar Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk memperkuat sistem di kementeriannya masing-masing. Hal ini penting agar tidak terjadi penyimpangan dan inefisiensi.