BI Tetap Fokus Turunkan Defisit Transaksi Berjalan
KATADATA ? Bank Indonesia (BI) akan tetap fokus pada kebijakan yang bertujuan menjaga defisit transaksi berjalan supaya tidak bertambah lebar. Defisit neraca berjalan merupakan alasan utama investor asing menarik dananya dari Indonesia, yang menyebabkan rupiah menjadi salah satu mata uang turun paling tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan, defisit transaksi berjalan mesti dibiayai dari pasar keuangan internasional. ?Karena konsekuensi defisit transaksi berjalan adalah membutuhkan valas (valuta asing) yang lebih banyak,? kata dia dalam seminar ?Sinergi Fiskal dan Moneter di Era Jokowinomics? di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (30/3).
Makanya, kebijakan yang dilakukan BI maupun pemerintah sekarang adalah memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan cara mengurangi impor. Persoalannya, Indonesia tidak dapat mendorong kinerja ekspor di tengah penurunan harga komoditas di pasar dunia.
?Maka BI ketatkan kebijakan moneter, untuk menekan impor,? tutur Mirza. ?Sementara pemerintah sehatkan fiskal dengan menaikan harga BBM (bahan bakar minyak ).?
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang neraca transaksi berjalannya masih mengalami defisit. Ini berbeda dengan Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia yang masih mencatatkan surplus.
Sumber: Bahan presentasi Menteri Keuangan, 17 Maret 2015.
Staf Khusus Menteri Keuangan Arif Budimanta mengatakan, jika neraca transaksi berjalan bisa surplus maka fundamental ekonomi Indonesia bisa solid. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia.
Sejauh ini, kata dia, investor mempertanyakan kemampuan pembayaran atau utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta Indonesia. Ini tecermin dalam neraca transaksi berjalan. Jika terus defisit, maka biaya pendanaan (cost of fund) Indonesia akan semakin mahal.
?Isu kenaikan Fed rate memang terus mempengaruhi kurs rupiah, maka fundamental (ekonomi) harus diperbaiki,? tutur Arif.
Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Budi Hikmat menilai, investor saat ini tengah menunggu reformasi ekonomi yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo. Menurutnya, ini terkait adanya kesan perubahan arah kebijakan otoritas moneter dan fiskal yang kembali fokus pada stabilitas makro ekonomi.
?BI menunjukkan ?tightning bias? dengan mempertahankan suku bunga,? kata dia dalam analisis mingguannya. ?Sementara media mengutip pernyataan Menteri Keuangan yang tidak terlalu mengejar target pertumbuhan ekonomi.?
Perubahan orientasi ini memicu pertentangan karena Indonesia telah menggelar stabilisasi sejak 2013 lalu. ?Stabilisasi yang terlalu lama tanpa reformasi berisiko memicu resesi. Kebijakan moneter dan fiskal yang ketat akan kehilangan kredibilitas,? kata Budi.
Lebih lanjut, Budi mengatakan, penerapan kebijakan moneter dan fiskal yang ketat untuk meredam defisit telah menurunkan daya beli masyarakat dan keuntungan investasi asing langsung. Ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang kembali menaikkan harga BBM dan menahan impor.
Semestinya, pemerintah konsisten memacu pertumbuhan ekonomi untuk menaikkan daya beli masyarakat yang kemudian meningkatkan kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya.
?Arus masuk ini akan memperkuat rupiah. Sebaliknya perlambatan ekonomi justru memicu risiko menurunkan penerimaan pajak pemerintah,? kata dia.