Pemerintah Dikritik Tak Prioritaskan Anggaran Kesehatan saat Pandemi
Alokasi anggaran yang dikeluarkan pemerintah dalam penanganan virus corona (Covid-19) dikritik sejumlah pihak. Fokus utama kritik adalah, pemerintah lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada bidang kesehatan.
Senior Program Officer International Budget Partnership Donny Setiawan menilai, anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 tidak menjadi prioritas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.
Ia memandang, alokasi sektor kesehatan dan perlindungan sosial yang tidak sebesar untuk industri dan dunia usaha, akan menyusahkan pemerintah dalam penanganan Covid-19.
"Dengan kecilnya anggaran perlindungan sosial, pemerintah akan hadapi banyak persoalan di lapangan," kata Donny dalam sebuah diskusi daring, Selasa (21/4).
Ia pun menyoroti minimnya anggaran untuk riset dan penelitian vaksin corona. Padahal, keberadaan vaksin dapat menjadi solusi dalam mengatasi penyebaran virus corona.
Dari besaran anggaran penanganan Covid-19 pada APBN Perubahan 2020 sebesar Rp 405,1 triliun, Donny mengelompokkan menjadi tiga sektor, yakni sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dukungan industri dan dunia usaha.
(Baca: Sisi Minus Stimulus Rp 405 Triliun dalam Penanganan Virus Corona)
Dari pengelompokkan tersebut, anggaran dukungan industri/dunia usaha mencapai 37% dari total belanja covid-19. Sedangkan, anggaran kesehatan hanya 18,5% dari total belanja covid-19, lalu anggaran jaring pengaman sosial tercatat sebesar 27,2% dari total belanja penanganan Covid-19.
Rinciannya, anggaran kesehatan sebesar Rp 75 triliun disalurkan untuk subsidi BPJS tenaga kerja, insentif dan santunan kematian tenaga kesehatan, penyediaan Alat Pelindung Diri (APD), dan lainnya.
Kemudian, penyaluran anggaran jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun dibagi menjadi dua. Pertama, untuk program Kartu Prakerja, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), diskon tarif listrik, insentif perumahan dan lainnya sebesar Rp 65 triliun.
Kedua, untuk cadangan kebutuhan pokok dan operasi pasar sebesar Rp 25 triliun, serta penyesuaian anggaran pendidikan sebesar Rp 20 triliun.
Selanjutnya, kelompok anggaran dukungan industri sebesar Rp 70,1 triliun dialokasikan untuk cadangan perpajakan sebesar Rp 64 triliun dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp 6,1 triliun.
Kemudian, kelompok anggaran dukungan industri/dunia usaha sebesar Rp 150 triliun digunakan untuk pembiayaan dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi.
(Baca: Pemerintah Siapkan Anggaran Penanganan Corona hingga 2022)
Pendapat senada diungkapkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Ia menilai, pemerintah lebih mengutamakan sektor ekonomi dibandingkan kesehatan, tercermin dari sikap pemerintah dalam membuat kebijakan.
Kebijakan larangan mudik misalnya, menurutnya tidak berbeda dengan karantina wilayah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Namun, pemerintah enggan mengambil kebijakan karantina wilayah dan lebih memilih menerapkan PSBB dan melarang mudik.
Asfinawati mengkritik, langkah yang diambil pemerintah tersebut adalah upaya menghindar dari tanggung jawab seperti yang terkandung dalam UU Nomor 6 tahun 2018. Sebab, jika secara tegas menerapkan karantina wilayah, pemerintah dihadapkan pada kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok.
Seperti diketahui, dalam Pasal 55 Ayat (1) menyebutkan selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Sikap pemerintah yang tidak ingin menerapkan karantina wilayah, namun melarang mudik merupakan upaya tarik menarik lantaran mempertimbangkan ongkos ekonomi. Sebab, penerapan karantina wilayah harus diikuti dengan pemenuhan pangan masyarakat.
"Ini mengerikan karena pemerintah lebih mengedepankan biaya ekonomi daripada kesehatan," ujar Asfinawati.
(Baca: Pemerintah Diminta Anggarkan Dana Tangani Corona hingga 50% dari APBN)