Dana Stimulus Ekonomi Berpotensi Bengkak, BI Didorong Cetak Uang

Agustiyanti
4 Juni 2020, 17:33
bi cetak uang, pandemi corona, anggaran pemulihan ekonomi, utang pemerintah
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi. Core Indonesia menilai pencetakan uang saat ini tidak akan menyebabkan bertambahnya uang beredar terlalu besar lantaran posisi jumlah uang berbedar saat ini relatif rendah.

CORE Indonesia mengusulkan Bank Indonesia menerapkan kebijakan pencetakan uang. Kebijakan ini dinilai dibutuhkan untuk memenuhi pembiayaan pemerintah seiring kebutuhan dana pemuluhan ekonomi pandemi corona yang masih berpotensi membengkak.

Direktur Riset Core Piter Abdullah Redjalam menjelaskan, terdapat dua alasan utama mengapa kebijakan pencetakan uang oleh bank sentral perlu dan dapat dilakukan oleh Indonesia saat ini. Pertama, dibutuhkan tambahan likuiditas untuk kebutuhan pembiayaan stimulus. Kedua, kondisi ekonomi saat ini tak akan menyebabkan hiperinflasi jika BI mencetak uang.

"Umumnya pemerintah menarik sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang, tetapi di tengah keringnya likuiditas akibat pandemi akan sulit berharap permintaan terhadap surat utang pemerintah mampu menutupi kebutuhan pembiayaan," ujar Piter dalam keterangan resmi dikutip Kamis (4/6).

Adapun kebutuhan pembiayaan stimulus yang telah dianggarkan pemerintah dinilai belum ideal dan masih berpotensi membengkak. Anggaran untuk kesehatan, misalnya, menurut dia, masih perlu ditingkatkan dari saat ini sebesar Rp 87,55 triliun menjadi Rp 100 triliun.

Lalu kebutuhan anggaran untuk jaring pengaman sosial, masih berpotensi meningkat dari alokasi terbaru Rp 203,9 triliun menjadi Rp 234 triliun. Kenaikan anggaran untuk membantu konsumsi rumah tangga ini dibutuhkan jika ekonomi mencapai skenario terberat dan jumlah penduduk miskin bertambah menjadi 12,2 juta orang.

(Baca: Tambal Defisit APBN, Pemerintah Rilis Samurai & Euro Bond Semester II)

Kebutuhan dana pemulihan ekonomi swasta juga berpotensi menanjak. Salah satu bentuk mekanisme yang diatur regulator untuk membantu dunia usaha adalah restrukturisasi kredit. Namun, upaya ini membuat pemeringtah harus menempatkan dana di bank-bank peserta untuk membantu likuiditas mereka.

Menurut hitungan Core, perbankan akan mengalami penurunan likuiditas mencapai Rp 631 triliun jika 25% dari total kredit perlu direstrukturisasi.

"Dengan kebutuhan tambahan anggaran tersebut belanja akan meningkat menjadi Rp 3.479 triliun. Dengan perkiraan penerimaan negara hanya Rp 1.691 triliun, maka defisit anggaran akan mencapai Rp 1.856 triliun," jelas dia.

Jika ditambah investasi sebesar Rp 178 triliun dan utang jatuh tempo pemerintah Rp 426 triliun, maka total pembiayaan utang bruto akan mencapai Rp 2.461 triliun. Dengan asumsi tersebut, tambahan pembiayaan dari surat utang pada Juni-Desember yang diperlukan pemerintah pun dapat mencapai Rp 1.800 triliun.

"Hal ini menjadi tantangan karena dalam lima tahun terakhir, serapan maksimal pasar pada instrumen surat utang pemerintah hanya mencapai Rp 900 triliun. Inilah mengapa kebutuhan likuiditas tambahan melalui kebijakan cetak uang diperlukan," jelas dia.

(Baca: Diaspora Bond Terbit November, Minimal Pemesanan Rp 5 Juta)

Adapun dengan kondisi perekonomian saat ini, Piter pun meyakini kebijakan mencetak uang tak akan menimbulkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada 1960-1966. Secara historis, Indonesia sebelumnya pernah melakukan kebijakan cetak uang pada masa orde lama. Kebijakan tersebut kala itu mengakibatkan hiperinflasi.

"Hiperinflasi yang terjadi saat itu adalah kombinasi kenaikan jumlah uang beredar yang tidak diimbangi oleh sisi suplai akibat kelangkaan bahan baku, serangkaian ketegangan politik, dan kebijakan makro yang kurang tepat," kata dia.

Sementara saat ini, menurut dia, pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya uang beredar terlalu besar lantaran posisi jumlah uang berbedar saat ini relatif rendah. Pertambahan uang beredar juga tdak serta merta mendorong permintaan.

Selain itu, kenaikan permintaan yang diperkirakan masih terbatas juga dapat diakomondasi dengan ketersediaan pasokan. Situasi politik saat ini juga jauh lebih kondusif dan tingkat inflasi relatif rendah.

Kementerian Keuangan sebelumnya mencatat total utang pemerintah per April 2020 mencapai Rp 5.172,48 triliun. Utang pemerintah saat ini sebagian besar dalam bentuk surat berharga negara, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...