RAPBN 2021 Disepakati, Sri Mulyani Sebut Ekonomi Masih Rapuh

Sorta Tobing
23 Juni 2020, 12:15
RAPBN 2021, kebijakan ekonomi 2021, asumsi makro 2021, sri mulyani
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappena Suharso Monoarfa (kanan), Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto (kanan), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kedua kiri) dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (kiri) mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/6/2020).

Asumsi makro ekonomi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2021 telah disepakati pemerintah bersama Komisi XI DPR RI. Kedua pihak sepakat pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 4,5% sampai 5,5%.

Lalu, tingkat inflasinya 2% sampai 4%. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dipatok di kisaran Rp 13.700 hingga Rp 14.900. Untuk suku bunga surat berharga negara (SBN) 10 tahun di 6,29% sampai 8,29%.

Tingkat pengangguran terbuka tahun depan di kisaran 7,7% hingga 9,1%. Kemiskinan berada di angka 9,2% sampai 9,7%. Indeks gini rasio berada di 0,377-0,379, dan indeks pembangunan manusia di 72.78-72.95. Grafik Databoks berikut ini merangkum asumsi makro tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan proyeksi inflasi belum tinggi karena diperkirakan permintaan belum tinggi meski ada pemulihan ekonomi di tengah pandemi corona. Kondisi ekonomi masih rapuh dan tidak pasti.

Pemerintah akan terus menjaga dari sisi kebijakan moneter, termasuk menjaga potensi inflasi dari harga pangan. “Tahun depan diperkirakan akan memiliki musim lebih kering. Oleh karena itu antisipasi keamanan pangan sudah dipersiapkan sejak saat ini,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (22/6).

(Baca: Sri Mulyani Ungkap Potensi RI Masuk Jurang Resesi Ekonomi)

Kebijakan Ekonomi Pemerintah di 2021

Asumsi makro itu akan menjadi acuan dalam penyusunan APBN 2021. Pemerintah menjalankan sejumlah kebijakan ekonomi di tengah pandemi corona. Termasuk di dalamnya adalah penanganan bidang kesehatan, pemulihan ekonomi nasional dan penguatan reformasi bantuan sosial, pendidikan, belanja negara, serta transfer daerah dan dana desa.

Pemerintah juga akan melakukan pemulihan industri, termasuk manufaktur, pariwisata, investasi, dan pemanfaatan teknologi informasi. Stimulus juga masih akan tetap dijalankan tahun depan. Fokusnya adalah pada sektor informal, UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), petani, nelayan, korporasi, dan badan usaha milik negara (BUMN) yang berperan strategis di masyarakat.

Untuk mendorong perekonomian, pemerintah juga akan menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan ekfektivitas perlindungan sosial, memperkuat kebijakan pengendalian impor, dan meningkatkan nilai tukar petani dan nelayan. Pemerintah dan DPR juga menyepakati pengendalian defisit dengan memperhatikan prioritas pembangunan nasional dan menjaga ruang fiskal dan keberlanjutan APBN.

(Baca: Asumsi Makro RAPBN 2021 Disepakati, Kurs Rupiah Dipatok 14.900/US$)

Alasan RAPBN 2021 Tak Pakai Surat Perbendaharaan Negara

Pada rapat itu Sri Mulyani sempat mengusulkan memakai suku bunga SBN tenor lima atau sepuluh tahun sebagai asumsi dasar ekonomi makro.  “Selama ini kita menggunakan suku bunga SPN (surat perbendaharaan negara) tiga bulan yang mungkin relevansinya di dalam penghitungan APBN itu sangat kecil,” ucapnya.

SBN dengan tenor 10 tahun dinilai lebih menentukan dalam postur APBN. Sejumlah negara juga menggunakan instrumen yang serupa. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menghitung SBN tenor 10 tahun sudah turun mendekati 7%.

Usulan opsi pertamanya, yakni SBN tenor 10 tahun dengan proyeksi suku bunga di kisaran 6,29% hingga 8,29% atau lebih rendah dari usulan awal. “Ini seiring perkembangan dari SBN yang kami issued (terbitkan) pada minggu-minggu terakhir dan menunjukkan perbaikan signifikan dengan sentimen market yang lebih positif,” kata Sri Mulyani.

Sedangkan opsi kedua, yakni suku bunga SBN tenor lima tahun dengan besaran bunga 5,88% hingga 7,88%. “Dua surat berharga ini sangat mempengaruhi postur belanja suku bunga karena hampir 5% hingga 5,9 % atau lebih dari 10% dari total outstanding domestik kita,” ujarnya. Pemerintah dan Komisi XI akhirnya sepakat memilih opsi pertama.

(Baca: Bappenas: Daya Beli Masyarakat Hilang Rp 362 T Akibat Pandemi Corona)

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...