Revisi UU BI ala DPR, Upaya Intervensi Kebijakan Moneter?
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu tujuan utama revisi aturan ini adalah mengatur ulang kerangka, esensi dan batas-batas independensi bank sentral.
Selain itu, pengawasan bank akan kembali dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke BI. “DPR masih menunggu sikap pemerintah akan memilih opsi revisi UU BI dan OJK, omnibus law, atau Perppu (peraturan pengganti undang-undang),” ujar Anggota Badan Legislatif DPR Hendrawan Supratikno ketika dihubungi Selasa (1/9).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebut pemerintah tengah mempertimbangkan landasan hukum yang memadai bagi pelaksanaan wewenang LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), BI, dan OJK dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi corona. Namun, belum jelas seperti apa format aturan hukum yang tengah dipertimbangkan pemerintah.
Menanggapi revisi undang-undang BI, Presiden Joko Widodo memastikan bank sentral akan tetap independen. Mengutip dari Reuters, Jokowi juga mengatakan tak akan mengeluarkan keputusan darurat seperti peraturan pengganti undang-undang atau Perppu untuk mengubah kewenangan BI.
Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah revisi UU BI tersebut memuat soal pembentukan dewan moneter sebagai produk hukum baru. Fungsinya, menurut draf rancangan undang-undang (RUU) BI yang diterima Katadata.co.id, untuk membantu pemerintah dan bank sentral dalam menetapkan kebijakan moneter ke depan.
Dewan moneter akan terdiri dari lima anggota yakni Menteri Keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
Menteri Keuangan akan menjadi Ketua Dewan Moneter dan bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan. Dalam pembicaraan yang bersifat teknis, para anggotanya berhak menunjuk penasehat ahli yang dapat menghadiri sidang Dewan Moneter.
Kembali ke Masa Orde Baru?
Dewan moneter sebenarnya pernah hadir pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang bank sentral. Di dalamnya tertulis, tugas Bank Indonesia harus mengacu kepada kebijakan pemerintah yang dirumuskan oleh dewan moneter.
Pada masa itu, BI punya keterbatasan wewenang dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang moneter dan perbankan. Intervensi pemerintah lewat dewan moneter kemudian menjadi pangkal masalah mengapa Indonesia gagap dalam menghadapi krisis finansial 1997-1998.
Semua bermula dari terbitnya Paket 27 Oktober 1998 atau lebih dikenal dengan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 88. Banyak yang menyebut kebijakan ini paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Di dalamnya tercantum kelonggaran dalam mendirikan bank. Hanya dengan modal Rp 10 miliar, siapa pun dapat melakukannya.
Sejak saat itu, jumlah bank berkembang pesat. Pengelolaan dana nasabah dan jumlah kredit pun meningkat. Para konglomerat menguasai sektor ini. Namun, dampak negatifnya adalah banyak bank yang dikelola jauh dari kata profesional. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menggerogoti industri perbankan.
Imbasnya, muncul masalah kredit macet, struktur permodalan tidak terpenuhi, dan pemberian suku bunga yang tidak sehat. Ketika krisis moneter mulai masuk ke Indonesia pada 1997, banyak bank yang berguguran.
Bank Indonesia, melansir dari Kontan.co.id, tidak dapat banyak menolong ketika krisis terjadi. Masalanya, setiap tindakan bank sentral tidak terlepas dari koordinasi dewan moneter dan arahan presiden ketika itu, Soeharto.
Kondisi perbankan semakin genting dan babak belur. Masyarakat banyak yang menarik simpanannya sehingga menguras likuiditas perbankan. Pada saat bersamaan, bank-bank ini memiliki letter of credit (L/C) yang jatuh tempo. BI akhirnya mengucurkan bantuan likuiditas yang disebut BLBI sebesar Rp 147,7 triliun ke 48 bank.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kemudian menemukan indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun dari kucuran dana tersebut. Sebagian besar diselewengkan oleh para pemilik bank.
Setelah krisis perbankan, independensi BI mulai direalisasikan dengan adanya Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. Di dalamnya berisi larangan intervensi pemerintah dalam sistem moneter nasional.
Setahun berselang, lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menggantikan aturan yang lama. “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini,” tulis pasal 4 ayat 2 aturan tersebut.
Merujuk pada buku Kedudukan Komisi Negara Independen dalam Struktur Ketatanegaraan RI, suatu lembaga dikatakan indpenden bila memenuhi setidaknya tiga indikator. Pertama, dasar hukum pembentukannya yang menyatakan secara tegas kemadirian komisi negara.
Kedua, independen dalam arti bebas dari pengaruh, kehendak, ataupun kontrol dari cabang kekuasaan. Dan ketiga, pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi lelaui mekaniksme yang diatur secara khsus.
Bahaya Perubahan UU BI
Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menilai rencana perubahan kewenangan BI tidak logis dan dapat berbahaya pada stabilitas sistem keuangan dan moneter Tanah Air. Tidak ada satu negara yang merombak struktur sistem moneter dan keuangan di tengah krisis pandemi Covid-19.
Bahkan, negara yang pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari Indonesia, tidak melakukan perubahan tersebut. Kedua, perombakan tersebut akan memberikan kesan pemerintah sedang bingung dan panik. "Kesan ini akan jelek efek berantainya," kata Dradjad.
Berdasarkan data OJK, likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Terjaganya stabilitas sektor keuangan didukung juga dengan permodalan lembaga jasa keuangan yang tercatat pada level yang tinggi. Rasio kecukupan modal atau CAR perbankan tercatat naik menjadi 23,10% pada Juli dari posisi Juni 2020 di level 22,59%.
Hendrawan menjelaskan revisi UU BI akan memakan waktu yang lama. Padahal, reformasi sistem keuangan harus dilakukan dalam waktu yang cepat di tengah kebutuhan untuk mengantisipasi gejolak ekonomi akibat pandemi Covod-19.
Saat ini, revisi UU BI juga masih dalam proses pembentukan rancangan awal. Draf yang disusun belum memuat tanggapan banyak pihak. "Jadi masih akan terus dimatangkan dengan menyerap aspirasi para pihak," katanya.
Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)