Plus Minus Bank Menumpuk Dana di Surat Utang Negara
Kepemilikan perbankan di surat utang negara sepanjang tahun ini melesat bahkan hingga dua kali lipat dibandingkan tahun lalu dan melampaui porsi kepemilikan asing. Pandemi Covid-19 membuat likuiditas perbankan melonggar karena penyaluran kredit yang lesu dan simpanan masyarakat yang justru meningkat.
Berdasarkan data Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan, kepemilikan perbankan pada surat utang negara hingga 20 Oktober 2020 mencapai Rp 1.354,57 triliun, naik 132,8% dari posisi akhir tahun lalu Rp 581,37 triliun. Porsi kepemilikan pun melesar dari 21,12% menjadi 38,16%.
Sementara itu, porsi kepemilikan asing anjlok dari 38,57% menjadi 26,17%. Surat utang negara yang digenggam juga turun dari Rp 1.061,88 triliun menjadi Rp 949,82 triliun.
Kepemilikan lembaga nonbank pada surat utang negara juga menurun dari 69,34% pada akhir 2019 menjadi 55,47%. Namun secara nominal masih meningkat dari Rp 1.908,88 triliun menjadi Rp 1967,96 triliun.
Hal yang sama juga terjadi pada surat utang yang digenggam BI secara neto. Porsinya turun dari 9,54% menjadi 6,37%, sedangkan dalam nominal turun dari Rp 262,49 triliun menjadi Rp 226,01 triliun.
Kepemilikan BI pada surat utang negara secara gross sebenarnya melesat dari Rp 272,31 triliun mejadi Rp 696,08 triliun. Namun, surat utang yang digunakan BI untuk operasi moneter turut melesat dari akhir 2019 sebesar Rp 10,72 triliun menjadi Rp 470,07 triliun.
Hingga kini, total surat berharga negara yang beredar mencapai Rp 3.547,55 triliun, naik 28,87% dibandingkan akhir tahun lalu. Pemerintah sepanjang tahun ini hingga 20 Oktober telah menerbitkan surat utang, termasuk sukuk secara gross mencapai Rp 1.219,12 triliun.
Total utang pemerintah terus meningga sepanjang tahun ini, seperti terlihat dalam databoks. Hingga Agustus 2020, total utang pemerintah telah mencapai Rp 5.600 triliun atau naik hampir 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sisi Positif dan Negatif
Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Roby Rushandie menjelaskan posisi kepemilikan perbankan sudah menyalip asing sejak kuartal dua tahun ini. Likuiditas yang longgar mendorong permintaan yang tinggi dari perbankan terhadap instrumen suray utang.
"Porsi kepemilikan bank di SUN sekarang sudah lebih besar dari asing karena likuiditas yang longgar. Di sisi lain, asing juga banyak melepas walaupun sekarang sudah mulai kembali masuk," ujar Roby kepada Katadata.co.id, Rabu (21/10).
Roby menjelaskan, permintaan terhadap SUN yang tinggi dari perbankan menjadi salah satu pendorong turunnya yield SBN. Berdasarkan data IBPA, rata-rata yield SBN tenor 10 tahun per 21 Oktober tercatat 6,86%, turun dibandingkan akhir tahun lalu yang masih berada di kisaran 7%.
Selain itu, menurut dia, kepemilikan perbankan yang lebih besar dari asing membantu menahan kenaikan yield jika terjadi gejolak di pasar keuangan.
Ekonom Institut Kajian Stragetis Universitas Kebangsaan Eric Sugandi menjelaskan nilai surat utang negara yang diperdagangkan sebenarnya naik sejak awal tahun. Namun, suplai surat utang pemerintah yang meningkat lebih banyak diserap oleh perbankan yang membutuhkan penempatan dana.
"Penurunan porsi kepemilikan asing dan naiknya porsi perbankan sebenarnya memberikan kesempatan untuk Indonesia memperbaiki komposisi kepemilikan SUN," kata Eric kepada Katadata.co.id, Rabu (21/10).
Porsi kepemilikan asing yang terlalu besar, menurut Erick, selama ini juga membuat rupiah berisiko jika terjadi aliran dana asing keluar dari SUN.
Meski demikian, Erick menjelaskan kenaikan kepemilikan surat utang negara oleh perbankan menunjukkan masih rendahnya perbankan dalam menyalurkan kredit.
"Kredit saat ini sulit tumbuh karena permintaan lemah sejalan dengan kondisi perekonoamian. Oleh karena itu, sebagian dana ditempatkan perbankan di SBN," ujar Erick kepada Katadata.co.id, Rabu (21/10).
Berdasarkan data Bank Indonesia, penyaluran kredit hingga September hanya tumbuh 0,12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penyaluran kredit ini melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang masih tercatat tumbuh 1,04%.
Di sisi lain, dana pihak ketiga justru tumbuh 12,88%, lebih tinggi dibandingkan Agustus yang tercatat 11,64%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, lambatnya penyaluran kredit disebabkan oleh perbankan yang lebih berhati-hati terkait risiko dan permintaan kredit yang lemah. Namun, faktor permintaan yang lemah dinilai lebih berpengaruh besar.
"Intermediasi perbankan ke depan diperkirakan akan membaik sejalan dengan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik," ujar Perry pada pekan lalu.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai DPK yang terus meningkat mengindikasikan masyarakat masih memilih untuk menyimpan uangnya ketimbang melakukan aktivitas konsumsi di tengah ketidakpastian akibat pandemi.
"Kalau hitungan kami secara industri, DPK tahun ini bisa tumbuh di atas 8%, padahal kredit maksimal hanya 1,5%," ujar Andry dalam acara Bincang APBN 2021, Selasa (13/10).
Selain karena simpanan perbankan yang meningkat, kenaikan DPK juga sebenarnya ditopang oleh pelonggaran likuiditas yang dilakukan BI dan penempatan dana pemerintah. Pemerintah telah menempatkan dana pada tiga bank BUMN senilai Rp 30 triliun, serta tujuh BPD dan bank syariah sebesar Rp 11,5 triliun.