Misi Sulit Menutup Bolong Penerimaan Pajak di Pengujung Tahun

Agustiyanti
23 Oktober 2020, 07:00
penerimaan pajak, pajak, pandemi covid-19, penerimaan negara, shortfall pajak.
123RF.com/Andriy Popov
Ilustrasi. Penerimaan pajak hingga September 2020 baru terkumpul Rp 750,6 triliun atau 62,6% dari target dalam Perpres 72 Tahun 2020.

Pandemi Covid-19 membuat tugas Direktorat Jenderal Pajak kian berat dipengujung tahun. Penerimaan pajak hingga September 2020 baru terkumpul Rp 750,6 triliun atau 62,6% dari target dalam Perpres 72 Tahun 2020. Masih ada Rp 448,2 triliun penerimaan yang harus dikejar di tiga bulan terakhir tahun ini.

Bolong pada penerimaan pajak sebenarnya bukan cerita baru. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan pajak selalu gagal mencapai target. Ini bahkan terjadi meski penerimaan negara melampaui target pada 2018. Saat itu, pajak hanya terkumpul 92% dari target.

Penerimaan pajak juga hanya mencapai 84,4% dari target pada 2019, 91% pada 2017, 82% pada 2016, dan 81,5% pada 2015. Hanya saja pada masa-masa itu, realisasi penerimaan pajak selalu tumbuh dengan target yang hampir selalu dua digit.

Sejak 2015, rasio pajak juga menghadapi tren penurunan terlihat dalam databoks di bawah ini.

Sementara pada tahun ini, pemerintah telah memangkas target penerimaan pajak sebesar Rp 443,8 triliun dari rencana awal dalam APBN 2021. Target penerimaan pajak dalam Perpres 72 juga lebih rendah dari realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 1.332,7 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, penurunan penerimaan paling dalam terjadi pada Pajak Penghasilan (PPh) migas sebesar 45,3% menjadi Rp 23,6 triliun. Penerimaan pajak migas mengalami kontraksi dalam karena harga minyak saat ini berada di bawah US$ 40 per barel. Ini jauh di bawah prakiraan pemerintah yang berada di atas US$ 60 per bare

"Selain faktor harga, penurunan PPh migas juga dipengaruhi oleh volume. Lifting migas yang lebih rendah," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita awal pekan ini.

PPh nonmigas tercatat turun 16,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu mencapai Rp 418,2 triliun atau 65,5% dari target. Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN) turun 13,6% menjadi Rp 290,3 triliun atau 57,2% dari target.

Pajak Bumi dan Bangunan sudah mencapai 104,4% dari target atau Rp 14 triliun. Namun, realisasinya turun 9,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, pajak lainnya baru mencapai 59,7% dari pagu atau Rp 4,5 triliun, turun 6,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Secara total, pajak nonmigas kita mencapai 726,99 triliun, terkontraksi 15,43% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini masih sesuai dengan prakiraan kami," katanya.

Berdasarkan jenis pajaknya, PPh 21 menunjukkan perbaikan dalam tiga bulan terakhir dan bahkan sudah mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,78% pada September. PPh orang pribadi juga masih tumbuh sebesar 3,5%. "Meskipun PPh OP pertumbuhannya menurun dalam dua bulan terakhir. Ini karena ada pergeseran dari pembayaran pajak," ujarnya.

PPh badan terkontraksi sangat dalam mencapai 57,74% pada September. Penurunan ini disebabkan oleh perlambatan ekonomi dan implementasi insentif pengurangan angsuran PPh pasal 25 dan penurunan tarif PPh badan.

PPh dalam negeri juga masih tertekan dan turun 26,66% karena ada penurunan aktivitas di perdagangan dan jasa konstruksi. Ini seiring dengan pengetatan PSBB yang dilakukan pada September.

Adapun pajak impor dalam bentuk PPh 22 dan PP juga turun masing-masing sebesar 77,63% dan 20,60%.

Berdasarkan sektornya, pajak yang berasal dari sektor pertambangan turun paling dalam mencapai 42,78% seiring dengan penurunan harga komoditas dan peningkatan restitusi.

Pajak konstruksi dan real estate turun 19,6% seiring penurunan kegiatan konstruktsi dan penjualan real estate. Pajak perdagangan dan industri pengolahan turun masing-masing 18,42% dan 17,16%.

"Kontraksi kegiatan impor, perlambatan penjualan, dan pemanfaatan insentif fiskal sangat menekan sektor industri pengolahan dan perdagangan," katanya.

Sementara itu, pajak transportasi dan perdagangan turun 18,42% dan jasa keuangan turun 5,45%.

Meski masih terkontraksi, menurut Sri Mulyani, penerimaan pajak secara keseluruhan sudah menunjukkan tren perbaikan sejak Juli. "Trennya sudah membaik tetapi kita harus waspada karena setiap terjadi pengetatan PSBB, kelihatan sekali pajak langsung mengalami tekanan," katanya.

PENERIMANAAN PAJAK TURUN 12 PERSEN
PENERIMANAAN PAJAK TURUN 12 PERSEN (ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/aww.)

Penuh Ketidakpastian 

Pengamat pajak dari Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menjelaskan kinerja penerimaan pajak hingga September sangat berat akibat Pemberlakuan Sosial Berskala Besar dan beragam insnetif. Berdasarkan trennya, penerimaan pajak akan meningkat pada kuartal keempat. Namun, hal ini akan bergantung pada perkembang Covid-19.

"Sesuai siklus, penerimaan pajak kuartal IV biasanya cukup tinggi sehingga penerimaan pajak mungkin terkontraksi 12% hingga 13% dibandingkan tahun lalu. Namun, ini dengan asumsi PSBB tidak diperketat lagi," ujar Fajry kepada Katadata.co.id, Kamis (22/10). 

Menurut Fajri, PPh 21 dan PPh OP yang masih cukup prospektif hingga akhir tahun ini. Berdasarkan sektornya, menurut Fajri, transportasi dan keuangan diramal akan membaik dan berkontribusi cukup signifkan ke penerimaan akhir tahun. 

Di sisi lain, ia menduga pajak digital belum akan berkontribusi banyak untuk menutup kekurangan penerimaan negara. "Pajak digital baru sebatas PPN. Hitungan kasarnya, potensi dari pungutan PPN hanya Rp 1,5 triliun hingga Rp 2,1 triliun karena pungutan baru dimulai semester II dan beberapa platform digital saja," katanya. 

Saat ini, terdapat 36 perusahaan digital yang telah ditunjuk secara bertahap untuk menyetorkan PPN ke kas negara . Direktorat Jenderal Pajak hingga kini baru menerima setoran atas pungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN enam perusahaan digital untuk periode Agustus sebesar Rp 97 miliar.  Keenam perusahaan yang terdiri dari Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte. Ltd, Google LLC, Google Ireland Ltd, Netflix International B.V, dan Spotify AB merupakan yang pertama ditunjuk sebagai pemungut PPN digital.

Pengamat pajak dari DDTC Bawono Kristiaji mengaku sulit memprediksi penerimaan pajak di akhir tahun ini lantaran kondisi yang tak pasti akibat pandemi Covid-19. Namun berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya, penerimaan pajak akan meningkat di akhir tahun. 

Meski demikian, Bawono memperkirakan target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 1.198 triliun sulit untuk tercapai. "Selama ekonomi masih mengalami pelemahan terutama jika sektor konsumsi belum bergerak normal agaknya shortfall sulit untuk dihindari," kata Bawono kepada Katadata.co.id,Kamis (22/10). 

DDTC pada Juli lalu memproyeksi penerimaan pajak pada tahun ini hanya akan mencapai Rp 1.145 triliun, turun 14% dari realisasi tahun lalu. 

Proyeksi shortfall pajak sebelumnya juga telah disampaikan Wakil Menteri Keuangan Suhasil Nazara. "Penerimaan pajak kami perkirakan Rp 500 triliun tidak akan terkumpul dari target awal APBN.  Kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan seperangkat insentif pajak," ujar Suahasil  pada pekan pertama bulan ini. 

Pemerintah dua kali memangkas target penerimaan pajak pada tahun ini dari target UU APBN 2020 melalui Perpres Nomor 54 dan 72.  Total target penerimaan yang dipangkas sebesar Rp 443,8 triliun. 

Dengan proyeksi kekurangan penerimaan Rp 500 triliun dari UU APBN 2020, maka penerimaan pajak pada akhir tahun ini akan mencapai Rp 1.142,6 triliun. 

Reporter: Agatha Olivia Victoria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...