Membaca Peluang Investasi AS ke RI dari Potensi Kemenangan Biden
Amerika Serikat telah menggelar pemilihan presiden tadi malam (3/10) dengan hasil yang masih ketat antara Donald Trump dan Joe Biden. Hasil Pilpres akan menentukan arah kebijakan ekonomi AS ke depan yang dapat berpengaruh ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Salah satunya, dalam hal aliran investasi asing, baik portofolio maupun langsung.
Meski hasil belum pasti, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan kemenangannya. Sementara hasil hitung cepat yang dihimpun The Associated Press hingga pukul 19.00 WIB, Biden unggul dengan mengantongi 238 suara elektoral dari Trump yang mengantongi 213 suara elektoral. Untuk dapat memenangkan pilpres, salah satu kandidat harus mengantongi 270 dari 539 suara elektoral.
Terlepas dari siapa yang menang, kedua kandidat memiliki pandangan kebijakan yang saling bertolak belakang, terutama terkait perpajakan. Dikutip dari Financial Times, kebijakan pajak rendah bagi korporasi dan individu yang menjadi salah satu kebijakan utama Trump sejak terpilih dalam pilpres 2016 akan diubah oleh Biden jika menang.
Kebijakan ini menguntungkan bagi perusahaan Amerika dan mendukung pasar ekuitas, tetapi menciptakan defisit besar pada anggaran terutama pada masa Pandemi Covid-19 saat stimulus besar dibutuhkan. Oleh karena itu, Biden mengusulkan untuk menaikan pajak korporasi dari saat ini sebesar 21% menjadi 28%.
Pajak individu AS juga akan dinaikkan dari maksimal 37% menjadi 39,6%. Biden optimistis dapat menambah penerimaan negara hingga US$ 3,4 triliun sehingga dapat memberikan stimulus ekonomi lebih besar.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, ekonomi AS lebih cepat pulih jika Biden terpilih. Kebijakan kenaikan pajak yang diusung Biden dapat menciptakan stimulus belanja lebih besar sehingga perekonomian AS lebih cepat pulih.
"Kalau pajak tidak dinaikkan, stimulus akan terbatas. Trump saat ini masih kekeh untuk tidak perlu menambah stimulus, padahal ini dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi," ujar Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (4/11).
Ekonomi AS pada kuartal kedua terkontraksi 32,9% secara tahunan akibat pandemi Covid-19, seperti terlhat dalam databoks di bawah ini. Pada kuartal III, ekonomi AS melesat 33% secara tahunan tetapi belum kembali ke level sebelum pandemi Covid-19.
Jika ekonomi AS mulai pulih, menurut Josua, perekonomian global juga akan lebih cepat pulih dan menular ke Indonesia. Investasi akan kembali mengalir ke negara-negara berkembang atau emerging market, baik portofolio maupun fisik.
Berdasarkan riset yang diterbitkan lembaga pemeringkat global Moody's, ekonomi AS akan tumbuh 4,2% pada tahun depan dan 7,7% pada 2022 jika Partai Demokrat yang mengusung Biden memenangkan pemilu AS. Pertumbuhan ekonomi AS akan mulai melandai pada 2023 dan berakhir di kisaran 2,1% pada 2030.
Sementara berdasarkan skenario kemenangan Partai Republik yang mengusung Trump, ekonomi AS diprediksi hanya tumbuh 2,9% pada tahun depan dan 3,8% pada 2022. Pertumbuhan ekonomi juga akan melandai mulai 2023 dan berakhir di kisaran 1,9% pada 2030.
"Dalam jangka pendek, arus modal asing akan mengalir ke instrumen-instrumen portofolio, tetapi dalam jangka menengah ada potensi kenaikan investasi fisik," katanya
Ada Peluang Besar, Tapi Butuh Diplomasi
Pimpinan Lembaga Konsultan Global PwC di AS, Tim Ryan memperkirakan perusahaan-perusahaan asal AS akan terus merelokasi bisnis mereka dari Tiongkok. Hal ini akan dilakukan terlepas siapa pemenang pemilihan presiden pada 3 November mendatang.
"Covid-19 benar-benar membuat investor menaruh perhatian pada rantai pasokan. Bagaimana mengurangi risiko dari rantai pasokan yang sebelumnya tidak menjadi perhatian sekarang adalah fokus utama," ujar Ryan pada Jumat (23/10) dikutip dari CNBC.
Ryan menjelaskan, relokasi perusahaan-perusahaan AS dari Tiongkok akan memberikan keuntungan bagi negara-negara Asia Tenggara, Meksiko, dan Amerika Serikat sendiri.
Selain perang dagang dan masalah rantai pasokan, Tiongkok saat ini menjadi pilihan yang kurang kompetitif untuk semua produsen. Upah tenaga kerja Tiongkok meningkat dan peraturan menjadi lebih ketat, membuat lokasi lain lebih menarik.
Survei yang dilakukan Statista pada pertengahan 2020 menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan asal AS sudah mulai memidahkan bisnis dari Tiongkok. Sekitar 15% perusahaan yang disurvei mengatakan mereka telah memindahkan setidaknya sebagian dari operasionalnya ke luar Tiongkok.
Menurut Dewan Bisnis AS-Tiongkok, sebagian besar dari perusahaan-perusahaan tersebut memutuskan untuk pindah ke tempat lain dengan tujuan paling populer adalah Thailand dan Meksiko. Hanya sebagian kecil yang memutuskan kembali ke AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia berkesempatan menggantikan posisi Tiongkok sebagai negara tujuan investasi dari hubungan rantai pasok baru pasar global. Menurut dia, sudah ada 143 perusahaan, antara lain dari Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang yang berencana merelokasi investasi ke Indonesia.
"Relokasi investasi ini berpotensi menyerap tenaga kerja lebih dari 300 ribu orang," kata Airlangga pada September lalu.
Josua menilai kebijakan pajak lebih tinggi di AS yang diusung oleh Biden akan membuat peluang Indonesia sebagai tujuan relokasi investasi semakin besar. Banyak perusahaan akan enggan merelokasi bisnisnya kembali ke AS dengan pajak yang lebih tinggi. Apalagi pemerintah telah menyiapkan berbagai perbaikan regulasi dan insentif melalui UU Cipta Kerja. Vietnam, salah satu pesaing Indonesia sebagai negara tujuan investasi lain di ASEAN kini jugamulai padat.
"Kita memiliki pasar dan sudah memperbaiki berbagai regulasi melalui UU Cipta Kerja, ini menjadi modal. Tapi, pemerintah kita juga harus banyak melakukan diplomasi agar lebih banyak investasi mengalir dari AS," katanya.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, investasi asal AS hanya menempati posisi ketujuh dengan investasi terbesar pada kurtal ketiga 2020. Total investasi AS tercatat sebesar US$ 279 juta, melonjak dibandingkan kuartal II 2020 sebesar US$ 77,juta maupun periode yang sama tahun lalu US$ 125,43 juta. Namun, investasi AS sepanjang Januari-September 2020 tercatat turun dari US$ 757,14 juta pada periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 480,1 miliar.
Diplomasi dengan AS kini juga tengah digiatkan oleh pemerintah. Salah satunya saat kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. Dalam kunjungan tersebut, AS memberikan perpanjangan fasilitas pembebasan bea masuk atau generalized system of preferences (GSP) bagi Indonesia. Ia juga berjanji untuk mendatangkan lebih banyak investasi dari AS ke Indonesia.
"Kami sepakat bahwa dua negara dengan skala ekonomi seperti kita harus lebih banyak berdagang. Selain itu, ada lebih banyak yang kami investasi juga di sini dari AS," kata Pompeo saat melawat ke Indonesia pekan lalu, seperti dikutip dari Antara.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menilai kemenangan Biden akan berdampak positif bagi pasar keuangan global dan Indonesia karena memberikan harapan kepastian yang lebih baik. Kebijakan Trump selama ini dianggap sering memunculkan gejolak di pasar keuangan.
"Ada harapan, pasar keuangan lebih tenang jika Biden terpilih dan perang dagang akan berakhir," katanya.
Piter meyakini modal asing akan mengalir deras ke Indonesia terutama pada instrumen portofolio jika Biden menang. Namun, ia menilai dampak kemenangan Biden tak akan besar pada sektor riil. "Dampaknya lebih ke pasar keuangan dalam jangka pendek, sedangkan ke sektor riil termasuk FDI dalam jangka menengah tidak akan banyak berdampak," katanya.